Presiden Venezuela Nicolas Maduro pada Senin, 15 September 2025, memperingatkan bahwa negaranya tengah menjalani “pertarungan besar demi kebenaran” untuk menjaga perdamaian, menuduh kekuatan asing meningkat tekanan militer dan politik terhadap pemerintahannya. Dalam konferensi pers dengan media internasional, Maduro mengatakan Venezuela belakangan mendapat ancaman berupa “kehadiran kapal rudal dan sebuah kapal selam nuklir” dan menyatakan bahwa dirinya serta pejabat tinggi lain, termasuk Menteri Pertahanan Vladimir Padrino López, menerima ancaman pribadi. Ia juga merujuk pada insiden yang melibatkan kapal perusak USS Jason Dunham, yang menurutnya “secara ilegal menghadang” kapal penangkap ikan Venezuela di perairan nasional — peristiwa yang disebutnya sebagai upaya untuk melemahkan kedaulatan negara.
“Agresi ini bersifat hukum, politik, dan militer, sehingga membenarkan hak pembelaan yang sah,” ujar Maduro, menambahkan bahwa respons pemerintah adalah memberdayakan rakyat Venezuela, melatih mereka, dan membela kebenaran bangsa. Sang pemimpin Bolivarian menggambarkan warga Venezuela sebagai “orang-orang jujur dan revolusioner abad ke-21” dan menegaskan bahwa identitas itu membuat negara menjadi sasaran. Ia menilai Venezuela menghadapi “agresi menyeluruh”, bukan sekadar ketegangan geopolitik, seraya menyerukan persatuan nasional untuk mempertahankan kedaulatan.
Maduro menegaskan bahwa pemberdayaan warga menjadi inti strategi pemerintahnya: bukan sekadar pengamat pasif, rakyat diposisikan sebagai peserta aktif dalam pertahanan nasional. Ia juga menyeru media internasional melakukan “upaya etis besar” untuk menayangkan fakta tentang Venezuela, menuduh narasi bias berkontribusi pada ketidakstabilan. “Ini bukan hanya perjuangan untuk perdamaian, melainkan juga perjuangan melawan disinformasi,” kata Maduro.
Pada Kamis, 11 September 2025, Wakil Presiden Delcy Rodríguez memperingatkan rencana Washington untuk meningkatkan ketegangan militer di Amerika Latin, menuduh Amerika Serikat berupaya mendorong perubahan rezim di Venezuela dan menguasai sumber daya alamnya. Rodríguez mengatakan bahwa “kehadiran militer AS di Karibia ditujukan untuk mengganti rezim di Venezuela dan merebut kekayaan nasional.” Ia menilai setelah kegagalan sanksi dan blokade ekonomi, Washington “memutuskan membawa perang ke belahan dunia ini,” dan menekankan bahwa serangan militer terhadap Venezuela “akan memicu instabilitas dalam skala yang belum pernah terjadi di benua ini.”
Rodríguez juga membantah tuduhan AS tentang perdagangan narkoba yang diarahkan pada Presiden Maduro sebagai “kebohongan besar” dan “kampanye propaganda untuk mengkriminalisasi pemerintahan sah Venezuela,” sambil menunjukkan bahwa rute penyelundupan narkoba justru melintasi kawasan Pasifik. Ia melihat penumpukan kekuatan militer AS sebagai bagian dari “kebijakan imperialis” untuk mengamankan minyak dan sumber daya nasional.
Pengumuman Maduro tentang pengerahan sekitar 25.000 tentara untuk menguatkan garis pantai Karibia dan perbatasan dengan Kolombia disampaikan menjelang akhir minggu lalu dan memicu gelombang dukungan publik: ribuan warga turun ke jalan menanggapi seruan pelaksanaan rencana “Independence 200” untuk mempertahankan negara. Maduro menolak sanksi AS, menyebutnya “agresi imperialis” yang bermaksud menundukkan Venezuela dan memasang pemerintahan boneka.
Pemerintah tidak merinci secara rinci berapa personel militer reguler, pasukan polisi, atau milisi sipil yang akan terlibat dalam pengerahan itu, hanya menegaskan bahwa penambahan 25.000 tentara ditujukan untuk negara-negara bagian di sepanjang perbatasan Kolombia. Berbicara pada siaran televisi negara pada Selasa pagi, 16 September 2025, dari kota pesisir Ciudad Caribia ditemani Menteri Pertahanan, Maduro menegaskan Venezuela siap menghadapi konfrontasi bersenjata jika diperlukan dan bahwa pasukan reguler telah ditempatkan secara penuh di seluruh jalur pesisir dan perbatasan — dari perbatasan Kolombia hingga ke seluruh negara.
Sumber berita: Al Mayadeen
Sumber gambar: TRT World