Skip to main content

Pada 8 September 2025, Presiden Iran Masoud Pezeshkian menghubungi Presiden Venezuela Nicolas Maduro untuk menegaskan dukungan penuh terhadap kedaulatan Caracas di tengah gempuran tekanan Amerika Serikat. Dalam percakapan telepon itu, Pezeshkian mengecam keras tindakan Washington dan berjanji memperdalam kerja sama strategis dengan Venezuela, menyebut bahwa ketahanan bangsa hanya bisa terjamin lewat persatuan internal dan solidaritas nasional.

Maduro membalas dengan menekankan bahwa kekuatan Venezuela lahir dari “solidaritas unik antara pemerintah, rakyat, dan angkatan bersenjata.” Ia menambahkan, lebih dari delapan juta rakyat Venezuela siap berdiri di garis depan melawan setiap bentuk agresi asing, seraya mengecam kampanye psikologis dan narasi palsu yang digencarkan Amerika untuk melemahkan Caracas.

Kedua pemimpin sepakat memperluas hubungan diplomatik dan ekonomi, memuji komitmen masing-masing negara terhadap perdamaian dan kedaulatan. Hubungan yang makin erat ini mencerminkan poros baru antara Teheran dan Caracas, berlandaskan penentangan bersama terhadap hegemoni AS.

Beberapa jam setelah panggilan telepon itu, Maduro menggunakan program mingguannya untuk menyerang balik Washington. Ia menolak menyebut blokade AS sebagai “ketegangan,” melainkan sebagai bentuk nyata agresi imperialis. “Amerika ingin memaksakan pemerintahan boneka yang tunduk pada kepentingan oligarki mereka. Namun tak seorang pun akan menginjak martabat Venezuela. Tidak ada yang akan menghina bangsa ini,” tegas Maduro.

Kondisi di lapangan menunjukkan eskalasi berbahaya. Delapan kapal perang AS kini beroperasi di kawasan Amerika Latin dengan dalih misi kontra-narkotika—tujuh di Karibia dan satu di Pasifik. Washington juga menempatkan 10 jet tempur F-35 di Puerto Riko, langkah yang secara luas dipandang sebagai upaya provokatif untuk mengepung Venezuela. Bahkan mantan Presiden Donald Trump pada 5 September berjanji menembak jatuh pesawat militer Venezuela jika dianggap mengancam aset Amerika.

Langkah itu, menurut pengamat, meniru pola “Perang Melawan Teror” di mana Washington melancarkan serangan terhadap target yang dituduh tanpa pengadilan. Pejabat AS seperti Pete Hegseth menegaskan operasi serupa akan berlanjut, dengan tuduhan bahwa Venezuela terlibat dalam perdagangan narkotika di benua.

Caracas menanggapi dengan mengerahkan 25.000 personel militer ke perbatasan Kolombia dan garis pantai Karibia. Mobilisasi besar-besaran ini dimaksudkan untuk memperkuat operasi respons cepat sekaligus menunjukkan kesiapan Venezuela menghadapi setiap kemungkinan serangan. Maduro telah berulang kali memperingatkan bahwa jika negaranya diserang, Venezuela akan memasuki “perjuangan bersenjata,” meski tetap membuka pintu dialog yang didasarkan pada rasa hormat sejati.

Dengan dukungan Iran yang lantang dan rakyat yang tetap solid, Venezuela berusaha membuktikan bahwa mereka tidak akan tunduk pada tekanan imperialis. Poros Teheran–Caracas kini berdiri sebagai simbol perlawanan global terhadap blokade, sanksi, dan intimidasi Amerika.

Sumber berita: Al Mayadeen

Sumber gambar: Yemen News Agency (SABA)