Para tokoh bijak di Amerika Serikat dan di seluruh dunia sejak lama telah memperingatkan bahaya jika sosok seperti Donald Trump kembali berkuasa di Amerika. Gangguan psikologis dan kompleks kepribadian yang melekat pada dirinya menjadikannya ancaman bukan hanya bagi dunia, tetapi juga bagi Amerika sendiri.
Namun, banyak yang tertipu oleh slogan-slogan populisnya dan memilihnya. Hanya sepuluh bulan setelah terpilih, Trump mulai melontarkan kata-kata kotor terhadap rakyat Amerika sendiri, tanpa memperhatikan moral, kesopanan, atau tata krama.
Perilaku memalukan itu muncul setelah hampir tujuh juta orang turun ke jalan dalam demonstrasi damai yang digelar di sekitar 2.700 kota dan wilayah Amerika Serikat pada Sabtu lalu. Para pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan “No to Kings” dan menampilkan gambar Trump mengenakan mahkota, digambarkan sebagai diktator yang berkuasa mutlak—ungkapan simbolik penolakan rakyat terhadap gaya pemerintahannya yang otoriter.
Namun tampaknya sifat narsistik Trump tidak mampu menerima protes damai tersebut. Ia membalasnya dengan cara vulgar: mengunggah video buatan AI di platform Truth Social yang menampilkan dirinya menerbangkan pesawat tempur bertuliskan “King Trump” dan membombardir para demonstran Amerika dengan kotoran dan najis.
Dengan segala hormat kepada rakyat Amerika dan seluruh bangsa di dunia, ketika dahulu sebagian orang Amerika bertepuk tangan saat Trump menyebut negara-negara Afrika dan Amerika Latin sebagai “toilet” tanpa mengecam ucapannya, kini giliran mereka sendiri menjadi sasaran penghinaan serupa, ketika ia secara metaforis “membuang kotoran” kepada rakyatnya sendiri — tindakan menjijikkan yang jauh dari perilaku manusia normal.
Ketika Trump memberlakukan undang-undang rasis dan mengeluarkan keputusan keji terhadap imigran, minoritas, serta warga berkulit berwarna; ketika ia melarang warga dari sejumlah negara hanya karena tidak menyukai warna kulit mereka; ketika ia ingin mencaplok Kanada dan pulau Greenland milik Denmark melalui tekanan ekonomi dan ancaman kekuatan; ketika ia, bersama entitas Zionis yang teroris, memasarkan agresinya terhadap Iran sebagai upaya perdamaian; ketika ia menghalangi penghentian genosida di Gaza di Dewan Keamanan PBB sambil berupaya memindahkan penduduknya ke Afrika dan membangun resor di atas tanah Gaza; ketika ia menginjak hukum internasional dan memerangi Mahkamah Pidana Internasional serta lembaga-lembaga PBB karena menuntut pengadilan bagi penjahat perang seperti Netanyahu dan Gallant — maka sudah jelas siapa sesungguhnya pelanggar hukum dan kemanusiaan itu.
Lebih jauh, ketika Trump menindas lawan politik di dalam negeri, mengerahkan tentara ke beberapa negara bagian untuk membalas dendam karena mereka tidak memilih dirinya; ketika ia mengejek kepala negara sekutu Amerika dan memberlakukan tarif ekonomi semaunya demi memuaskan ego dan kompleks inferioritasnya — hingga menyebabkan penutupan pemerintahan, pemecatan jutaan pegawai, serta meningkatnya pengangguran dan inflasi — maka menjadi jelas bahwa kepemimpinannya bukan hanya krisis politik, melainkan bencana moral.
Sementara Trump tenggelam dalam mimpinya yang berubah menjadi mimpi buruk — meraih Hadiah Nobel Perdamaian — bahkan rakyatnya sendiri menuduhnya sebagai “manusia perang” yang tidak percaya pada perdamaian, diplomasi, perdagangan bebas, atau hak asasi manusia.
Selama sosok seperti ini duduk di Gedung Putih, dunia pantas merasa khawatir terhadap masa depan perdamaian dan keamanan internasional.
Sumber opini: Al-Alam
Sumber gambar: Times of Israel