Skip to main content

Dalam sebuah tulisan yang dimuat Rai Al-Youm, jurnalis dan penulis Palestina Abdel Bari Atwan memuji sikap Iran terkait Konferensi Sharm el-Sheikh dan keputusan Teheran untuk tidak menghadiri acara itu, menyebut langkah tersebut sebagai contoh keteguhan politik dan kemandirian.

Atwan menilai bahwa dengan sikap itu Iran menahan diri dari euforia propaganda dan dukungan formal dari beberapa negara, serta tetap setia pada prinsip-prinsipnya. Menurutnya, posisi tersebut layak dihargai dan dapat menjadi teladan bagi negara-negara lain yang ingin mempertahankan kemerdekaan politik.

Dalam artikelnya Atwan menulis bahwa di tengah sorak sorai perayaan bagi Presiden AS Donald Trump saat kunjungannya yang singkat ke kawasan untuk “merayakan” kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza — yang menurutnya dipaksakan melalui dua tahun perang pemusnahan dan kelaparan oleh rezim pendudukan Israel dengan complicity serta dukungan finansial dan militer langsung dari tamu terhormat tersebut — muncul dua posisi Iran yang terhormat dalam pandangannya:

Pertama: Penolakan Iran atas ajakan Presiden Trump untuk kembali berunding dengan Amerika Serikat, yang disampaikan Trump saat berpidato di Knesset dan disambut tepuk tangan berdiri dari anggota parlemen.

Kedua: Penolakan Iran atas undangan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi untuk menghadiri konferensi perdamaian Sharm el-Sheikh, yang dipimpin bersama dengan Presiden Trump dan dihadiri sekitar 20 pemimpin serta wakil negara, termasuk Israel.

Mengenai poin pertama — ajakan Trump agar Iran kembali ke meja perundingan — Atwan menunjuk respons tegas dan terhormat dari Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi, yang menyatakan, “Kami tidak dapat berurusan dengan mereka yang menyerang rakyat Iran dan terus mengancam serta menjatuhkan sanksi lebih lanjut kepada kami.”

Posisi Araqchi, tulis Atwan, sejalan dengan pandangan Pemimpin Revolusi Imam Ali Khamenei. Menurut Atwan, tuntutan Amerika untuk dialog berisi syarat-syarat yang memalukan dan berlebihan, termasuk penghentian penuh pengayaan uranium dan penyerahan 450 kilogram uranium yang telah diperkaya. Ia menilai bahwa tujuan Washington adalah menjadikan Iran sebagai subordinat dan alat Amerika — sesuatu yang sama sekali tidak dapat diterima oleh Teheran.

Mengenai poin kedua — penolakan hadir di Sharm el-Sheikh — Atwan menegaskan bahwa penolakan itu bukanlah sikap menentang Mesir, melainkan upaya menghindari berjabat tangan atau berfoto dengan seorang presiden Amerika yang menurutnya telah melakukan dua kejahatan besar terhadap Iran:

Pertama: Pada bulan Juni lalu, ketika ia (Trump) mengirim pembom pembawa muatan besar untuk menyerang fasilitas nuklir Iran sebagai dukungan kepada agresi Israel dan atas permintaan serta koordinasi Netanyahu — aksi yang menurut Atwan berbuah kontra produktif.

Kedua: Pembatalan kesepakatan nuklir 2015 oleh pemerintahan Trump pada masa jabatan pertamanya. Netanyahu dipuji karena mendesak langkah itu, yang mengembalikan blokade dan sanksi terhadap Iran dengan tujuan melemahkan masyarakat Iran dan menggulingkan rezimnya demi rezim pro-AS. Atwan menyebut pembatalan itu sebagai hadiah terbesar bagi Iran dan khususnya bagi Pemimpin Tertinggi.

Atwan menegaskan bahwa, setuju atau tidak dengan kebijakan kepemimpinan Iran, langkah menolak ajakan dialog Trump dan menghindari kehadiran di Sharm el-Sheikh adalah posisi terhormat. Bagaimana mungkin sebuah delegasi Iran buru-buru duduk di meja negosiasi dengan negara yang baru saja mengebom wilayahnya, sementara darah para syuhada belum mengering? Bagaimana mungkin menteri luar negeri Iran hadir pada konferensi yang dihadiri oleh sebagian besar negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan pendudukan, merayakan gencatan yang rapuh dan yang, menurut Atwan, tidak menghentikan perang pemusnahan, tetapi justru memfasilitasi pembebasan semua tahanan Israel — demi agenda politik Presiden Trump.

Atwan menyatakan kritik tajam terhadap Trump: presiden Amerika itu, menurutnya, belum mengakui solusi dua negara, mendukung proyek “Israel Raya” atas biaya enam negara Arab dan Islam, serta memfasilitasi aneksasi Yerusalem Timur dan Bukit Golan. Ia juga menuduh Trump menerima narasi Israel terkait klaim-klaim kekerasan atas Al-Aqsa dan menyediakan bantuan miliaran dolar serta membuka akses senjata mematikan bagi Israel dalam konflik di Gaza, Lebanon, Yaman, dan terhadap Iran sendiri.

Lebih jauh, Atwan mengaitkan permintaan Trump agar Iran kembali berunding dengan kehancuran yang dialami Israel setelah serangan rudal Iran yang menghantam bagian selatan Tel Aviv dan sejumlah target sensitif — insiden yang, menurutnya, mendorong Trump untuk “menyelamatkan Israel” dan menjaga kehadiran pangkalan Amerika di kawasan sambil menarik modal Arab untuk menopang ekonomi AS.

Atwan menutup dengan memperkirakan bahwa peperangan mendatang tidak akan satu arah seperti sebagian besar perang sebelumnya: perlawanan Palestina akan tetap ada, berkembang, dan menang; perlawanan Yaman akan terus menguat; perlawanan Lebanon akan kembali; kemampuan rudal dan kapal selam Iran terus berkembang; dan sentimen nuklir berada pada ambang kematangan strategis. Hanya waktu yang akan membuktikan perkembangan selanjutnya, tutup Atwan.

Sumber berita: Al-Alam

Sumber gambar: Pars Today