Sharm el-Sheikh dan Rencana Gencatan Senjata: Diplomasi di Tengah Bara
Delegasi dari Qatar, Turki, dan Amerika Serikat terus berdatangan ke kota Sharm el-Sheikh, Mesir, untuk membahas rencana Presiden AS Donald Trump guna mengakhiri perang di Jalur Gaza.
Sumber diplomatik kepada Cairo News menyebutkan bahwa Mesir tengah mengintensifkan upayanya bersama semua pihak terkait untuk mencapai kesepakatan yang konkret dan menentukan mekanisme pelaksanaannya.
Hamas, menurut laporan yang sama, telah menyatakan kesiapan untuk menyerahkan semua tawanan hidup maupun jenazah, namun menuntut kejelasan atas langkah-langkah operasional dan jaminan agar “Israel” tidak melanjutkan agresinya.
Sementara itu, pejabat-pejabat Mesir mulai meninjau daftar tahanan Palestina yang akan dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran, yang mencakup nama-nama besar seperti Marwan Barghouti, Ahmad Sa’adat, Hassan Salameh, dan Abbas al-Sayyed.
Negosiasi di Sharm el-Sheikh berlangsung di tengah meningkatnya tekanan internasional terhadap Tel Aviv dan Washington, serta gesekan tajam antara faksi-faksi perlawanan dan entitas penjajah yang terus menolak gencatan senjata total.
Hizbullah: Perlawanan Adalah Jalan Pembebasan
Dalam pernyataan resmi memperingati dua tahun Operasi Badai Al-Aqsa, Hizbullah menegaskan komitmen “tanpa kompromi” terhadap perjuangan rakyat Palestina dan menggambarkan operasi 7 Oktober 2023 sebagai “pertempuran pengorbanan, kehendak, dan keteguhan.”
Pernyataan itu menuding rezim Zionis dan pemerintah Amerika Serikat sebagai pihak yang telah “menginjak setiap hukum, resolusi, dan nilai kemanusiaan,” serta bertanggung jawab atas kelaparan, pengungsian, dan kehancuran di Gaza.
Hizbullah menegaskan bahwa keamanan dan masa depan kawasan hanya dapat dijamin dengan sikap Arab dan Islam yang bersatu dalam tindakan nyata untuk menahan agresi, bukan sekadar retorika diplomatik.
“Entitas ini hanya memahami bahasa kekuatan dan konfrontasi,” tegas pernyataan itu, seraya menyampaikan penghormatan kepada para syahid Palestina dan sekutu regional — Iran, Yaman, Irak, serta seluruh “bangsa merdeka di dunia yang mengangkat suara Gaza di hadapan tirani global.”
Faksi-Faksi Perlawanan: Persatuan dan Keteguhan Rakyat Adalah Kemenangan
Dalam pernyataan bersama yang dirilis di Gaza, faksi-faksi perlawanan Palestina menegaskan bahwa perlawanan dalam segala bentuknya tetap menjadi satu-satunya jalan menghadapi pendudukan Zionis.
Mereka menyebut kegagalan militer dan politik “Israel” selama dua tahun agresi sebagai bukti ketangguhan rakyat Palestina dan keberhasilan mempertahankan struktur perlawanan di bawah pengepungan brutal.
Faksi-faksi tersebut menyampaikan penghormatan kepada para pemimpin dan perancang Operasi Badai Al-Aqsa — Ismail Haniyeh, Yahya al-Sinwar, dan Mohammad al-Deif — serta kepada para syahid dan sekutu regional yang mereka sebut telah menulis “sejarah dengan darah dan cahaya.”
Mereka menegaskan bahwa “selama tanah Palestina masih diduduki, senjata perlawanan tidak akan diturunkan,” dan menyerukan penguatan koordinasi lintas front antara Gaza, Tepi Barat, Lebanon, dan Yaman.
Hamas: Akhiri Agresi, Pulihkan Gaza, Satukan Barisan
Dalam konferensi pers memperingati dua tahun Operasi Badai Al-Aqsa, pemimpin Hamas Fawzi Barhoum menegaskan bahwa operasi tersebut telah “mengembalikan isu Palestina ke pusat perhatian dunia dan menyingkap isolasi belum pernah terjadi terhadap penjajah.”
Ia menegaskan bahwa pemerintah Netanyahu dan Washington memikul tanggung jawab penuh atas genosida di Gaza dan bahwa kejahatan mereka “akan tercatat sebagai pelanggaran berat yang tidak memiliki masa kedaluwarsa hukum.”
Barhoum menyerukan penghentian segera agresi, pembukaan jalur bantuan, rekonstruksi total Gaza, serta pemulangan semua warga yang terusir dari utara hingga selatan Jalur Gaza.
Ia memuji peran Yaman, Hizbullah, Iran, serta dukungan diplomatik Qatar, sembari menyerukan negara-negara Arab untuk “mengaktifkan seluruh bentuk boikot terhadap penjajah dan normalisasi.”
“Perlawanan adalah hak sah rakyat kami,” ujar Barhoum, “dan negara Palestina yang berdaulat dengan al-Quds sebagai ibu kota kini bukan lagi impian jauh — melainkan hak yang semakin dekat untuk diwujudkan.”
Laporan ini disusun berdasarkan berbagai sumber berita dan pernyataan resmi.