Hari ini, pertempuran Badai Al-Aqsa memasuki tahun ketiganya tanpa keberhasilan dari duet Amerika Serikat–Israel beserta seluruh negara Barat yang mendukung mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh penjahat perang Benjamin Netanyahu dan para pendukungnya, termasuk Joe Biden dan Donald Trump. Tujuan itu mencakup penghancuran Hamas, pembebasan tawanan, pengusiran penduduk Gaza, dan pendudukan penuh atas Jalur Gaza. Namun, setelah semua kekejaman yang dilakukan duet tersebut di Gaza—yang mengguncang nurani kemanusiaan dunia—hari ini mereka justru kembali berunding dengan Hamas untuk membebaskan tawanan mereka sendiri.
Tidak pernah terlintas dalam benak seorang pun tentara Amerika atau Israel bahwa beberapa ribu pejuang di sebidang tanah sempit yang telah dikepung dari segala arah selama dua dekade akan mampu menahan serangan pasukan pendudukan Israel, yang selama ini disebut sebagai “tentara yang tak tergoyahkan” dan dianggap sebagai salah satu yang terkuat di dunia. Tentara Amerika bahkan ikut turun ke medan tempur bersama pasukan Barat dengan persenjataan modern paling mematikan. Mereka tidak menghormati batas kemanusiaan apa pun, membunuh anak-anak kelaparan dan yang sedang sakit, serta menghancurkan lebih dari 90 persen wilayah Jalur Gaza dalam dua tahun penuh. Namun para pejuang perlawanan, anak-anak, perempuan, dan orang tua Gaza tidak pernah mengibarkan bendera putih, meski telah kehilangan 67.000 syahid, hampir 10.000 orang hilang, serta puluhan ribu lainnya luka-luka.
Kebiadaban yang ditunjukkan oleh entitas Israel, Amerika, dan Barat terhadap Gaza dan rakyatnya—yang bahkan melampaui naluri predator—bukanlah semata-mata karena dendam atas kekalahan pada Sabtu, 7 Oktober 2023, tetapi merupakan reaksi terhadap fakta yang dibuktikan oleh Perlawanan Islam di Gaza: bahwa entitas Israel lebih rapuh daripada sarang laba-laba, dan dapat disingkirkan jika bangsa-bangsa di kawasan, bersama pemerintah mereka, memiliki keberanian untuk mengatakan “tidak” kepada Amerika—paru-paru yang membuat entitas palsu itu tetap bernafas. Karena itu, kekejaman pun terus dipertahankan hingga batas paling ekstrem, untuk menakut-nakuti siapa pun yang berpikir untuk menghapus pangkalan militer Barat paling maju di dunia Islam ini.
Donald Trump, yang semula mempercayai klaim Netanyahu bahwa Gaza dapat dikosongkan dari penduduknya dan digantikan oleh pemukim Zionis, sempat mengulang rencananya menjadikan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah” setelah kembali diduduki. Namun setelah menyaksikan keteguhan legendaris rakyat Gaza mempertahankan tanah mereka, ia akhirnya yakin bahwa mustahil mencabut kehadiran bangsa Palestina dari bumi Palestina, sekalipun seluruh kekuatan kejahatan dunia bersekongkol melawan mereka. Trump bahkan berbalik arah, ketika dalam wawancara dengan Channel 12 Israel pada Sabtu lalu ia menegaskan, “Netanyahu telah melampaui batas di Gaza dan Israel kehilangan banyak dukungan dunia. Sekarang aku akan memulihkan dukungan itu.”
Keesokan harinya, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyatakan bahwa negaranya tidak dapat mengabaikan dampak perang di Gaza terhadap posisi Israel di panggung global, di tengah meningkatnya isolasi diplomatik terhadap Israel.
Reputasi palsu Barat terhadap Israel kini rusak di mata dunia. Entitas pendudukan dan para pendukungnya membayar harga mahal dalam hal legitimasi internasional akibat perang pemusnahan di Gaza. Putusan pengadilan internasional menimbulkan ancaman serius bagi negara pendudukan dan para pemimpinnya. Kesempatan Israel untuk diterima di kawasan, bahkan di dunia, semakin menipis. Gelombang demonstrasi besar-besaran yang mengecam entitas pendudukan telah mendorong banyak negara Eropa dan Barat untuk mengakui Negara Palestina, memutus hubungan dagang, dan menghentikan penjualan senjata kepada Israel. Manifestasi terbaru dari dukungan global terhadap Gaza adalah Armada Keteguhan (Steadfastness Flotilla) yang semakin mempermalukan entitas pendudukan di mata dunia.
Agresi terhadap Gaza juga telah menyebabkan kelelahan politik, ekonomi, dan militer bagi negara pendudukan, disertai perpecahan sosial yang begitu dalam hingga presidennya sendiri memperingatkan bahaya perang saudara. Banyak pemukim di wilayah sekitar Gaza masih takut kembali ke rumah mereka. Bank of Israel memperkirakan total biaya agresi mencapai sekitar 330 miliar shekel (sekitar 100 miliar dolar), atau setara 111.000 shekel (sekitar 33.600 dolar) untuk setiap keluarga Israel.
Surat kabar berbahasa Ibrani Haaretz, dalam artikelnya yang terbit Selasa lalu, menggambarkan kondisi sebenarnya di Israel: “Israel terjebak dalam isolasi dan sekarat setelah dua tahun berperang di Jalur Gaza tanpa tujuan. Orang-orang Israel takut bepergian ke luar negeri, sementara negara, lembaga, dan struktur sosialnya berada dalam tahap disintegrasi lanjut. Israel kini menjadi sandera bagi kehendak presiden Amerika. Jika ia ingin mengakhiri perang, memulangkan para tawanan, dan menyelamatkan Israel dari dirinya sendiri, itu jauh lebih baik.”
Sementara itu, harian The Wall Street Journal dalam laporannya pada Senin kemarin menulis, “Israel kini lebih terisolasi dari sebelumnya, dua tahun setelah perang di Gaza. Perang ini telah membangkitkan opini global yang mengancam masa depan jangka panjang Israel. Kemarahan terhadap Israel meluas dari dunia Islam ke Eropa dan Amerika Serikat, dan semakin banyak masyarakat Amerika menolak dukungan Washington terhadap Israel. Dukungan generasi muda untuk Gaza, mulai dari universitas-universitas Amerika hingga sekolah menengah di Eropa, akan menjadi faktor penentu dalam membentuk pemikiran politik mereka di masa depan.”
Serangan Badai Al-Aqsa telah mengirimkan pesan ke seluruh dunia—pesan yang ditulis dengan darah rakyat Palestina—bahwa bangsa Palestina tidak akan pernah menerima pendudukan dan akan terus menolaknya dengan segala cara dan di bawah kondisi apa pun. Seperti ditegaskan oleh pimpinan Hamas, Fawzi Barhoum, pada Selasa, 7 Oktober 2025, “Badai Al-Aqsa adalah respons historis terhadap konspirasi untuk melikuidasi perjuangan Palestina. Itu bukan sekadar pertempuran yang menelanjangi tentara pendudukan yang delusional, tetapi sebuah titik balik besar yang memulai proses pembongkaran, kriminalisasi, dan isolasi terhadap pendudukan Zionis.”
Sumber opini: Al-Alam
Sumber gambar: Press TV