Skip to main content

Telah berlalu dua tahun sejak Badai Al-Aqsa, sebuah operasi yang mengguncang keseimbangan regional dan mengembalikan isu Palestina dari ketidakjelasan puluhan tahun ke pusat perhatian dunia. 7 Oktober 2023 bukan sekadar tanggal dalam kalender konflik antara Palestina dan Israel, tetapi juga titik balik yang menghancurkan kepercayaan diri rezim pendudukan serta membuka kedok kelemahan dan keusangan struktur keamanannya—yang selama ini digambarkan sebagai model tak tertembus.

Menurut laporan ISNA, Operasi Badai Al-Aqsa dilakukan pada saat yang sangat kompleks secara politik. Kabinet sayap kanan ekstrem rezim Zionis yang dipimpin Benjamin Netanyahu sedang terpecah karena perselisihan internal, sementara wilayah pendudukan dilanda protes besar-besaran menentang rencana “reformasi yudisial” yang dianggap warga sebagai kudeta terhadap demokrasi semu rezim tersebut.

Sebaliknya, Jalur Gaza berada di bawah tekanan pengepungan yang telah mencekik selama lebih dari 17 tahun, dan Tepi Barat menyaksikan peningkatan serangan dan pembantaian harian oleh pemukim Zionis yang menghapus segala harapan politik. Pada saat yang sama, kereta normalisasi hubungan dengan rezim pendudukan melaju cepat, dan pemerintah-pemerintah Arab bersiap untuk ikut menaikinya.

Dalam kebuntuan itulah Badai Al-Aqsa mulai mendefinisikan ulang konsep kekuatan dan daya gentar. Operasi ini di satu sisi merupakan ledakan dari puluhan tahun penindasan internasional dan Arab, dan di sisi lain menjadi guncangan strategis bagi rezim pendudukan yang mendapati dirinya berhadapan dengan realitas yang selama ini diyakini telah ia kalahkan sejak perang-perang klasik awal.

Sejak hari pertama, rezim pendudukan Zionis menanggapi operasi ini dengan kekerasan tanpa batas, mengandalkan dukungan negara-negara Barat—terutama Amerika Serikat—dan melakukan pembantaian terhadap warga sipil Palestina tak bersenjata, termasuk anak-anak, perempuan, dan lansia, hingga jumlah syuhada Palestina melampaui 60.000 jiwa. Ribuan lainnya hilang, dan puluhan ribu terluka tanpa perawatan memadai.

Gambar-gambar yang keluar dari Gaza menampilkan neraka di mata dunia: rumah sakit tanpa listrik, anak-anak ditarik dari reruntuhan, dan jenazah dibiarkan di jalanan.

Namun, kebrutalan ini tidak menghasilkan apa yang diinginkan rezim pendudukan. Gaza tidak menyerah, dan semangat rakyat Palestina tidak runtuh. Sebaliknya, keteguhan menjadi bentuk perlawanan sehari-hari. Meski memiliki keunggulan militer mutlak, Israel gagal mencapai tujuan-tujuannya. Hamas tidak hancur, para tawanan tidak dibebaskan, dan efek gentar Israel tidak pulih.

Badai Al-Aqsa menjadi ujian keras bagi konsep-konsep seperti tatanan internasional, keadilan, dan hak asasi manusia.

Pada awalnya, kekuatan Barat mendukung rezim pendudukan tanpa reserve—memberikan dukungan militer dan politik sambil menutup mata terhadap pengeboman sekolah dan rumah sakit. Namun, dengan semakin banyaknya gambar kehancuran Gaza dan jasad para syuhada tersebar ke seluruh dunia, arus opini publik global berbalik arah.

Demonstrasi besar-besaran digelar di ibu kota Barat, dari New York hingga London, Berlin, dan Paris. Para demonstran mengecam genosida yang berlangsung di Gaza.

Kritik pun meningkat di parlemen-parlemen negara tersebut, sementara kalangan seniman dan budayawan menyerukan dukungan kemanusiaan bagi rakyat Gaza, memecah keheningan panjang yang sebelumnya menyelimuti mereka.

Demikian pula, Mahkamah Internasional mengeluarkan panduan sementara dan memperingatkan rezim pendudukan agar tidak melakukan kejahatan genosida. Mahkamah Pidana Internasional—meski mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan rezim Zionis—mulai menyelidiki kejahatan perang di Gaza.

Namun, PBB mengalami krisis moral mendalam. Resolusinya terus diveto oleh AS, sementara Majelis Umum PBB mengambil posisi lebih independen dengan berulang kali mengesahkan resolusi untuk gencatan senjata dan pencabutan blokade Gaza.

Pada tahun kedua Badai Al-Aqsa, tanda-tanda isolasi internasional rezim Zionis semakin nyata.

Beberapa negara Amerika Latin—seperti Bolivia, Chili, dan Kolombia—memutus hubungan diplomatik atau menangguhkan kerja sama militer dengan Israel.

Menurut hasil jajak pendapat, citra rezim Zionis dalam opini publik dunia Barat merosot tajam; tingkat simpati terhadap mereka mencapai titik terendah sejak 1990-an.

Bahkan di Amerika Serikat, universitas-universitas besar menjadi pusat demonstrasi mahasiswa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para mahasiswa menyerukan boikot terhadap perusahaan yang mendukung rezim Zionis dan menuntut penghentian dukungan terhadap genosida Gaza.

Dalam dimensi ekonomi, kampanye boikot dan divestasi berdampak signifikan pada sektor teknologi dan budaya Israel.

Di Eropa, muncul jurang yang jelas antara pemerintah yang tetap berkomitmen mendukung Zionis secara buta dan masyarakatnya yang tak lagi bisa menerima keberlanjutan tragedi ini.

Di wilayah pendudukan sendiri, Badai Al-Aqsa mengguncang fondasi rezim seperti gempa politik. Kegagalan lembaga intelijen memprediksi serangan itu memicu badai politik yang belum juga reda.

Kepercayaan terhadap militer rezim menurun, pertikaian antara komandan dan pemimpin politik meningkat, sementara ribuan pemukim Zionis terus turun ke jalan menuntut pengunduran diri Netanyahu, yang dianggap bertanggung jawab atas bencana keamanan terburuk dalam sejarah rezim itu.

Ketika tekanan dari Amerika dan Eropa meningkat untuk menghentikan operasi di Gaza—sementara Netanyahu tak memperoleh apa pun demi menyelamatkan reputasinya—krisis dalam koalisi pemerintahan semakin memburuk.

Di dalam wilayah pendudukan, hal yang dulu tak pernah diucapkan kini menjadi terang: rezim pendudukan, meski unggul secara militer, telah kehilangan kemampuan menyelesaikan konflik; citra Israel sebagai kekuatan tak terkalahkan pun runtuh.

Di dunia Arab, selain beberapa seruan kemanusiaan, perang ini menelanjangi kelemahan sikap kolektif mereka. Pemerintah-pemerintah resmi hanya mengeluarkan pernyataan diplomatik dan mediasi simbolis.

Ungkapan seperti “keprihatinan serius” dan “seruan untuk menahan diri” kembali mendominasi pernyataan mereka, sementara proses normalisasi dengan beberapa ibu kota Arab terus berjalan seolah darah rakyat Palestina tak berarti.

Sikap ini menjadi pengkhianatan politik dan moral terhadap rakyat yang berharap adanya posisi Arab yang bersatu sebanding dengan kedalaman tragedi yang terjadi.

Namun, peristiwa-peristiwa ini membuktikan bahwa isu Palestina tidak akan mati oleh resolusi atau hidup hanya lewat pernyataan, melainkan tetap berdenyut di hati umat dan kesadaran generasi muda dunia Arab—yang melihat Palestina sebagai cermin kehormatan dan martabat mereka yang hilang.

Setelah dua tahun kehancuran, lebih dari dua juta orang di Gaza kini hidup di antara puing-puing, tetapi mereka menolak menyerah.

Di tengah reruntuhan itu, bentuk baru perlawanan sipil, sosial, dan budaya muncul. Pemuda Palestina merekam kebenaran dengan ponsel yang tak pernah ditayangkan televisi, sementara perempuan memainkan peran pahlawan dalam perjuangan, bantuan kemanusiaan, dan pendidikan.

Gaza menjadi simbol global perlawanan terhadap penindasan—sebagaimana Vietnam di tahun 1960-an atau Afrika Selatan di 1980-an.

Dari tragedi ini lahir kesadaran global baru: bahwa apa yang terjadi di Palestina bukan konflik perbatasan, melainkan perjuangan demi kebebasan, keadilan, dan martabat manusia.

Dua tahun telah berlalu sejak Badai Al-Aqsa, dan dunia tidak lagi sama. Mitos tentang “tentara tak terkalahkan” Israel runtuh; citra Barat sebagai penjaga hak asasi manusia hancur; dan perlawanan—dalam makna manusiawi dan politisnya—muncul sebagai perjuangan sah yang melampaui batas geografi.

Rakyat Palestina menunjukkan bahwa kelemahan bukanlah kekalahan, dan bahwa kehendak, bila diarahkan pada kebebasan, mampu membalikkan perimbangan kekuasaan—tak peduli seberapa besar keunggulan militer musuh.

Di era ketika topeng-topeng telah jatuh, Badai Al-Aqsa menunjukkan bahwa ia bukan peristiwa sementara, melainkan awal dari sebuah zaman baru yang menggambar ulang peta konflik sekaligus kesadaran manusia itu sendiri.

Sumber berita: ISNA

Sumber gambar: The Tehran Times