Permusuhan Eropa terhadap Iran tidak sekadar dapat dipahami sebagai kelanjutan dari aliansi politik dengan Amerika Serikat dan Israel, atau kekhawatiran Eropa terhadap kemampuan militer Iran. Lebih dari itu, sikap ini berakar pada pandangan peradaban Barat yang bersumber dari nilai-nilai materialistik. Hal ini terlihat dari konsensus negara-negara Eropa yang dengan tegas menolak kesepakatan nuklir dengan Iran, meski mereka sendiri turut menandatanganinya bersama Amerika Serikat pada 2015—sebuah kesepakatan yang akhirnya ditinggalkan oleh Washington ketika Donald Trump terpilih menjadi presiden.
Sejak awal, Eropa tidak mampu memenuhi kewajiban minimal dalam perjanjian tersebut. Perusahaan-perusahaan besar tunduk pada tekanan Amerika, sementara pemerintah-pemerintah Eropa gagal mengompensasi kerugian akibat kepatuhan mereka pada sanksi. Bahkan setelah Amerika keluar, Eropa hanya mampu mengungkapkan penyesalan tanpa langkah nyata memperbaiki keadaan.
Tiga negara utama Eropa—Inggris, Prancis, dan Jerman—yang dikenal sebagai Troika, kini mengaktifkan kembali mekanisme “snapback” atau pemulihan sanksi. Sanksi ini mencakup larangan penjualan senjata konvensional ke Iran, pembatasan perdagangan teknologi terkait program nuklir dan rudal, pembekuan aset individu maupun lembaga yang terhubung, hingga pelarangan perjalanan bagi orang-orang yang dianggap terlibat. Secara teknis, penerapannya masih membutuhkan penyesuaian hukum di negara-negara anggota, sementara Tiongkok dan Rusia sudah menegaskan tidak akan mengakuinya.
Langkah tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa Eropa, yang gagal menahan dominasi Amerika dan semestinya mencari ruang hubungan lebih seimbang dengan Iran, justru memperkeras sikap di saat perbedaan kebijakan dengan Washington dalam isu Ukraina dan Gaza semakin nyata?
Pertanyaan ini menjadi semakin penting pasca-agresi Israel terhadap Iran pada Juni lalu. Dalam konfrontasi itu, Iran menargetkan sasaran militer Israel, sementara Tel Aviv menyerang fasilitas publik dan sipil di Iran. Secara hukum internasional, Eropa semestinya bersikap netral, namun kenyataannya mereka mendukung Israel dan bahkan ikut menghadang serangan Iran.
Sikap ini kontras dengan realitas di lapangan. Di Gaza, Israel melakukan pembantaian massal, sementara simpati publik Eropa justru memihak rakyat Palestina. Namun, meski jarak politik dengan Amerika terkait Gaza mulai terlihat, hal itu tidak mengubah kecenderungan Eropa dalam bersikap keras terhadap Iran. Hanya Jerman yang konsisten paling dekat dengan posisi Washington, sedangkan negara Eropa lain terombang-ambing di antara tekanan internal dan loyalitas strategis.
Mengapa demikian? Jawabannya tidak cukup dijelaskan oleh faktor politik praktis atau kepentingan ekonomi. Ada fondasi lebih dalam: perbedaan pandangan peradaban. Eropa berangkat dari warisan kapitalisme Barat yang materialistik, sementara Iran berakar pada peradaban Islam yang menjadikan agama dan ilmu pengetahuan sebagai landasan kebangkitan.
Kisah hubungan Iran–Prancis pasca-terpilihnya Mohammad Khatami pada 1997 menggambarkan hal ini. Meski dianggap reformis dan dipandang Barat sebagai peluang “sekularisasi,” hubungan tersebut tersandung masalah simbolis ketika protokol resmi Prancis menuntut penyajian anggur dalam jamuan kenegaraan—hal yang jelas ditolak delegasi Iran. Insiden sederhana ini menunjukkan bahwa persoalan bukan semata politik, melainkan menyentuh benturan nilai.
Dari perspektif Barat, bangsa Timur, termasuk umat Islam, tidak dipandang setara secara kemanusiaan. Hal ini tergambar dari perbedaan perlakuan terhadap Ukraina—yang dianggap pantas dibela karena lebih dekat dengan identitas “Eropa”—dibandingkan Gaza, di mana simpati rakyat tidak tercermin dalam kebijakan elite.
Iran memahami bahwa kebangkitan Islam kontemporer yang mereka usung menghadapi hambatan besar: sektarianisme, rivalitas Arab–Persia, permusuhan Israel, dan tekanan geopolitik Barat. Namun, inti dari permusuhan Eropa terletak pada benturan peradaban itu sendiri. Barat tidak siap melihat model kebangkitan yang memadukan agama dan ilmu pengetahuan, karena hal itu mengguncang akar pemikiran dan legitimasi peradaban Barat modern.
Selama lima dekade terakhir, sikap Barat terhadap proyek nuklir Iran—meski berbasis sipil—selalu ditopang oleh kecurigaan dan konspirasi. Sebab, di balik persoalan teknis, terdapat ketakutan mendasar terhadap munculnya alternatif peradaban dari Timur Islam yang mampu menandingi supremasi Barat.
Dengan demikian, aktivasi kembali mekanisme sanksi bukan hanya soal nuklir, rudal, atau kepentingan keamanan. Ia adalah manifestasi dari permusuhan peradaban yang lebih dalam, sebuah upaya kolektif Barat untuk menghalangi Iran agar tidak menjadi simbol renaisans Islam modern yang berbasis sains dan iman.
Sumber opini: Al-Mayadeen
Sumber gambar: Nournews