Setelah pertemuan Presiden Amerika Serikat dengan Perdana Menteri Israel di Gedung Putih, konferensi pers pasca-pertemuan menyingkap “Rencana Komprehensif Trump untuk Mengakhiri Konflik di Gaza.” Rencana ini menghadirkan sebuah visi yang jelas mencerminkan kepentingan Israel, dengan dalih memberi kesempatan bagi rakyat Palestina untuk membangun kembali kehidupan mereka. Namun, rekonstruksi itu ditukar dengan pendirian semacam pengawasan Israel atas Jalur Gaza dengan dukungan internasional, sambil tetap memberikan prioritas mutlak kepada militer Israel: hak untuk memantau dan melakukan operasi militer.
Rencana yang terdiri dari 20 butir ini tidak dapat dilepaskan dari konteks strategis saat ini, yakni absennya solusi Arab, termasuk rencana rekonstruksi Mesir dan rencana Arab-Islam untuk Gaza. Secara garis besar, isi rencana tersebut terbagi dalam dua kelompok besar yang saling terkait, dengan hasil akhir yang sama-sama mengabaikan tuntutan mendasar rakyat Palestina, yang secara konsensus dianggap sebagai hak-hak utama mereka.
Rencana ini memuat ketentuan internasionalisasi tanpa kedaulatan yang nyata. Dalam pasal 15, 16, dan 17 disebutkan bahwa Amerika Serikat akan bekerja sama dengan mitra Arab dan internasional untuk membentuk Pasukan Penjaga Stabilitas Sementara (Interim Stabilization Force/ISF) yang akan ditempatkan di Gaza. Pasukan ini ditugaskan melatih dan mendukung kepolisian Palestina yang tidak terkait dengan kelompok perlawanan, dengan konsultasi bersama Mesir dan Yordania yang disebut memiliki pengalaman luas di bidang tersebut. Sambil menegaskan bahwa Israel tidak akan kembali menduduki Gaza, rencana ini menugaskan pasukan tersebut untuk “menegakkan kendali dan stabilitas,” dengan tujuan secara bertahap mengambil alih wilayah yang sebelumnya diduduki militer Israel.
Di sisi lain, pasal 13 menyatakan bahwa semua infrastruktur militer—termasuk terowongan dan fasilitas produksi—harus dimusnahkan. Gaza akan dilucuti dari kekuatan militernya di bawah pengawasan pemantau independen. Proses penghapusan kemampuan militer ini akan dijalankan melalui mekanisme yang disepakati bersama, didukung oleh program internasional yang membiayai pembelian atau penukaran senjata. Pasal ini juga menegaskan bahwa Hamas harus keluar dari segala bentuk peran pemerintahan di Gaza, sementara “Gaza yang baru” wajib membangun perekonomian baru dan hidup berdampingan secara damai dengan tetangganya.
Walau rencana ini berbicara tentang pasukan penjaga stabilitas dan pemantau independen, ia tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bentuk, kewenangan, dan batas waktu dari lembaga-lembaga tersebut. Dalam pasal 9, disebutkan bahwa Gaza akan dikelola oleh komite teknokrat Palestina yang menangani tata kelola lokal dan layanan dasar, beranggotakan pakar internasional, di bawah pengawasan sebuah badan transisi internasional yang dipimpin langsung oleh Trump. Namun, rencana ini tidak menjamin adanya penghentian permanen permusuhan. Pasal 3 hanya menyebut bahwa operasi militer akan “ditangguhkan” jika kedua belah pihak—Israel dan kelompok perlawanan—sepakat, dengan masa tenggat 72 jam.
Salah satu risiko strategis yang besar terdapat dalam pasal 14, yang meletakkan tanggung jawab pada “mitra regional” untuk memastikan Hamas menaati rencana ini, serta memastikan bahwa Gaza yang baru tidak menjadi ancaman. Dengan begitu, negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, Qatar, Turki, Arab Saudi, dan UEA akan dibebani tanggung jawab untuk mendorong perlawanan agar patuh. Namun, mereka tidak memiliki kewenangan nyata atau kekuasaan politik yang lebih tinggi, sebab kendali utama tetap berada di tangan badan transisi internasional dan pasukan penjaga stabilitas. Rakyat Palestina sendiri hanya diberi tanggung jawab teknis sehari-hari, tanpa peran politik yang sesungguhnya.
Ambiguitas juga terlihat dalam pasal 7 dan 8 yang menyebut tentang tata kelola infrastruktur dasar, perdagangan, dan penghidupan di Gaza. Gaza akan tetap terkepung di utara, timur, dan selatan oleh zona penyangga militer Israel, tanpa jaminan internasional apa pun untuk mencegah terulangnya blokade dan kelaparan. Rencana ini hanya menawarkan solusi jangka pendek, tanpa dasar bagi stabilitas jangka panjang bagi warga Gaza.
Selain Palang Merah dan PBB yang hanya disebut secara simbolis, pasal 8 menyerahkan tanggung jawab masuknya dan distribusi bantuan kepada “lembaga internasional lain yang tidak terkait dengan kedua pihak,” tanpa menyebut lembaga mana, siapa yang memberi mandat, apa wewenangnya, atau bagaimana hubungannya dengan badan transisi yang dipimpin Trump. Pasal 7 juga tidak jelas menyebut pihak yang bertanggung jawab atas rehabilitasi infrastruktur dasar—air, listrik, rumah sakit, dan fasilitas roti—serta pembersihan puing-puing, meski implisit memberi ruang bagi Mesir untuk berperan. Namun, peran resmi Mesir dalam rencana ini hanya sebatas melatih aparat keamanan Palestina baru dan “menjamin” kepatuhan Hamas, tanpa jaminan bahwa bangunan dan infrastruktur di Gaza tidak akan diserang lagi.
Pasal 15 bahkan menyebut pasukan penjaga stabilitas sebagai “solusi jangka panjang untuk keamanan internal,” meski diberi label sementara. Tidak ada kerangka waktu jelas untuk pembentukan kepolisian Palestina lokal, yang hanya bisa dibentuk jika tidak ada representasi politik Palestina. Rencana ini juga mengaitkan “jalur menuju penentuan nasib sendiri” dengan sesuatu yang kabur di pasal 19, yaitu implementasi penuh program reformasi Otoritas Nasional Palestina. Sekalipun berhasil dijalankan, rencana tersebut hanya menyatakan bahwa kondisi itu “mungkin” membuka jalan ke arah penentuan nasib sendiri, sambil menggambarkan kedaulatan Palestina sebagai sesuatu yang sekadar “aspiratif.”
Dengan demikian, rencana Trump ini pada intinya menempatkan Gaza di bawah pengawasan internasional yang didesain untuk menguntungkan Israel, sekaligus menyingkirkan hak-hak politik rakyat Palestina. Gaza ditawarkan rekonstruksi fisik tanpa kedaulatan; janji penentuan nasib sendiri, tapi hanya dalam bentuk harapan yang tidak pasti.
Sumber opini: Al-Mayadeen
Sumber gambar: Al Jazeera