Ketegaran luar biasa kembali ditunjukkan oleh masyarakat perlawanan di Lebanon selama serangan Israel baru-baru ini. Lingkungan perlawanan ini tampil dengan gambaran penuh kesetiaan, pengorbanan, dan keikhlasan, di saat banyak pihak lain meninggalkan prinsip paling mendasar dari kemanusiaan dan pembelaan atas kebenaran.
Dalam masa penuh pengkhianatan ini, para pejuang perlawanan berdiri teguh, menjadi suara kemanusiaan menghadapi ketidakadilan. Mereka menolak penghinaan dan kesombongan, serta mendukung kaum tertindas meski harus menanggung pengorbanan besar. Mereka tidak tunduk pada musuh Israel, maupun kepada pihak-pihak yang mendukungnya—baik dari pemerintahan Amerika, rezim Barat, maupun rezim regional.
Ketegaran istimewa ini tampak jelas di desa-desa perbatasan selatan yang berbatasan dengan Palestina yang diduduki, hingga ke seluruh wilayah selatan, Lembah Bekaa yang terkenal dengan semangat perlawanan, pinggiran selatan Beirut, serta kota dan desa lain di Lebanon yang menolak kesombongan dan kebiadaban Amerika-Israel dalam upayanya menundukkan bangsa-bangsa di kawasan. Penolakan itu lahir dari nilai dan prinsip yang diwariskan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun.
Apa keyakinan yang membuat seseorang rela wafat dengan kepala tegak, bangga pada Tuhannya, agamanya, keluarganya, dan anak-anaknya? Apa ide yang mendorongnya memberikan pengorbanan terbesar tanpa meninggalkan hak, nilai, atau tanah airnya? Bukankah keyakinan itu justru menghadirkan kehormatan, martabat, dan kebanggaan bagi negeri-negeri kita?
Dalam hal ini, Dr. Talal Atrissi, profesor sosiologi politik, menegaskan bahwa apa yang ditunjukkan masyarakat perlawanan sangatlah mengejutkan dan berpengaruh. Beliau mengatakan, “Berdasarkan berbagai rencana, arahan, dan strategi perang psikologis, yang diharapkan adalah masyarakat ini akan melemah dan jatuh dalam keputusasaan, terutama setelah gugurnya Sayyid Hassan Nasrallah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ketegaran dan daya tahannya sangat mengejutkan.”
Dalam wawancara eksklusif dengan Al-Manar TV, Atrissi menambahkan, “Yang dimaksud masyarakat ini bukanlah para elit, intelektual, atau media, melainkan rakyat biasa.” Beliau mencontohkan, “Kami melihat sendiri bagaimana mereka kembali ke desa-desa mereka, dengan kesadaran politik yang tajam mengenai siapa musuh mereka.” Ia melanjutkan, “Kami mendengar seorang perempuan sederhana berkata: ‘Ini tanah kami, musuh ini tak akan bertahan, dan kami siap berkorban,’ sementara sebagian dari mereka telah mempersembahkan satu atau lebih syahid.”
Atrissi lalu bertanya, “Dari mana datangnya budaya seperti ini? Bagaimana masyarakat ini terbentuk?” Menurutnya, jawabannya ada pada dua dimensi: dimensi akidah di satu sisi, dan dimensi budaya serta politik di sisi lain. Namun, dimensi akidah saja tidak cukup; ia memerlukan bimbingan dan pengarahan. Dimensi ini, kata Atrissi, erat terkait dengan ikatan mendalam masyarakat ini pada warisan Karbala, yang tampak jelas dalam wasiat para syuhada—hampir semuanya menyebut Imam Husain AS, Karbala, dan syahadah.
Ia menjelaskan bahwa para pria dan wanita yang berbicara tentang gugurnya seorang anak, suami, atau saudara, menjalani cobaan itu dengan meneladani syahadah Imam Husain AS dan sahabat-sahabatnya, kesabaran Sayyidah Zainab AS, dan apa yang terjadi dalam peristiwa besar itu. Karena itu, membandingkan musibah mereka dengan tragedi Karbala menjadikan cobaan mereka—betapapun pahitnya—terlihat lebih kecil dibandingkan penderitaan Ahlulbait AS.
Atrissi menilai bahwa dimensi akidah ini sangat penting, tetapi juga menjadi dasar bagi pengembangan budaya dan bimbingan politik, yang digarap secara konsisten oleh Sayyid Hassan Nasrallah. Beliau membangun budaya politik yang berpijak pada fondasi tersebut, menegaskan bahwa konfrontasi hari ini adalah dengan Yazid di zaman ini: entitas Zionis dan kebijakan Amerika. Hal ini, kata Atrissi, mencegah terjadinya penyimpangan ideologis atau penurunan tekad.
Menurutnya, ini adalah salah satu pencapaian paling menonjol dari Sayyid Hassan Nasrallah: beliau tidak hanya menanamkan budaya ini di kalangan komunitas Syiah saja, tetapi menciptakan budaya harga diri, kehormatan, dan martabat yang meluas, hingga menjangkau level politik umum. “Itulah sebabnya banyak warga Lebanon di luar komunitas Syiah, bahkan banyak orang Arab dan Muslim, merasa kehilangan kepemimpinan proyek harga diri dan martabat itu setelah beliau gugur,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Iyad Obeid, profesor ilmu komunikasi di Universitas Lebanon, menegaskan bahwa “masyarakat perlawanan adalah masyarakat iman, kekuatan, kesabaran, dan keteguhan.” Ia mengatakan, “Masyarakat ini telah dibuktikan oleh pengalaman dan ujian sebagai masyarakat yang tangguh, kuat, dan solid. Mereka beriman kepada Allah dan Kitab-Nya, kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga Nabi AS, serta para sahabatnya.”
Dalam wawancara eksklusif dengan Al-Manar TV, Obeid menambahkan: “Ini adalah perang buas, perang pemusnahan, dengan mesin perang Amerika-Israel yang menggunakan senjata pembunuhan dan penghancuran paling kejam, dengan deklarasi terbuka dari pusat-pusat keputusan dunia dan dari dalam entitas itu sendiri, bahwa mereka akan berusaha menghapus perlawanan, lingkungannya, dan rakyatnya. Ini adalah perang hidup dan mati.”
Ia menekankan bahwa rakyat menyaksikan langsung kekuatan, keteguhan, dan kepahlawanan masyarakat ini ketika mereka melihat para pemimpinnya maju di garis depan tanpa gentar, hingga gugur syahid di medan tempur—mulai dari Sayyid Hassan Nasrallah, kemudian Sekretaris Jenderal kedua Sayyid Hashem Safieddine, hingga para komandan lapangan. Mereka menerima syahadah tanpa ragu, seakan-akan berlomba menuju akhirat, menyerahkan nyawa dan kepala mereka kepada Allah.
“Sebagaimana yang sering dikatakan Sayyid Hassan Nasrallah, para syuhada, para pejuang yang terluka, keluarga mereka, dan para mujahid perlawanan ini mewakili nilai tertinggi dari keberanian, kemuliaan, dan iman. Mereka yakin bahwa dengan kesabaran dan keteguhan ini, mereka hanya mengharapkan dua kebaikan: kemenangan atau syahadah,” kata Obeid. “Mereka tidak menyimpang karena kepemimpinan mereka tidak menyimpang. Mereka tidak menyerah karena pemimpin mereka tidak menyerah. Mereka tidak lari karena pemimpin mereka tetap teguh dan akhirnya gugur syahid. Para pemimpin yang masih ada pun selalu menegaskan bahwa mereka siap menjadi syuhada.”
Obeid menambahkan bahwa mereka bergerak berdasarkan prinsip iman yang selalu membuahkan hasil, membuka jalan bagi masa depan yang penuh kedamaian dan martabat bagi anak-anak Lebanon.
Masyarakat perlawanan, yang tahun ini memperingati 1500 tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetap menegaskan komitmen pada jalan beliau dan cucunya, Imam Husain AS, dengan semboyan Karbala yang abadi: “Kehinaan bukanlah pilihan bagi kami.”
Sumber opini: Al-Manar
Sumber gambar: National Public Radio