Skip to main content

Pentagon dilaporkan menolak memberikan pengarahan rahasia kepada staf senior Kongres mengenai serangan drone Amerika Serikat yang menewaskan 11 orang di lepas pantai Venezuela, memicu kekhawatiran baru terkait legalitas operasi tersebut serta meningkatnya ekspansi militer pemerintahan Donald Trump di kawasan Karibia. Perkembangan ini terungkap pada Rabu, 18 September 2025.

Serangan drone terjadi awal bulan ini ketika militer AS menargetkan sebuah kapal di dekat perairan Venezuela. Semua 11 orang di atas kapal tewas. Washington menyebutnya sebagai bagian dari kampanye “anti-narkoterorisme”, namun anggota parlemen, pakar hukum, dan pegiat hak asasi manusia menilai operasi tersebut tidak memiliki otorisasi Kongres, melanggar hukum internasional, dan menandai eskalasi berbahaya keterlibatan militer AS di Amerika Latin.

Presiden Trump bahkan mengumumkan serangan kedua terhadap kapal lain di wilayah tanggung jawab Komando Selatan AS. Melalui akun TruthSocial, ia menyatakan tiga orang kembali tewas, sambil menulis peringatan: “Jika kalian mengangkut narkoba yang bisa membunuh orang Amerika, kami akan memburu kalian!”

Meski Trump merilis potongan video serangan, rincian perencanaan, eksekusi, dan dasar hukum operasi tetap tidak tersedia bagi mayoritas anggota Kongres. Pentagon hanya memberi akses terbatas kepada staf Komite Angkatan Bersenjata, sementara komite pengawas utama dikecualikan.

Anggota parlemen dari Partai Demokrat, Sara Jacobs, mengecam tindakan itu sebagai pelanggaran serius terhadap fungsi pengawasan. “Inilah buktinya betapa penting Kongres mengambil kembali kewenangan perang,” ujarnya.

Sejumlah pakar hukum menegaskan serangan tersebut tergolong pembunuhan yang direncanakan. Sarah Harrison, mantan penasihat hukum Pentagon, menyebut tidak ada dasar pembelaan diri dan bahwa korban adalah warga sipil yang dilindungi hukum. “Membunuh 11 orang itu jelas ilegal. Ini adalah pembunuhan terencana,” tegasnya.

Sarah Yager, Direktur Human Rights Watch di Washington, menilai penggunaan kekuatan mematikan sepihak oleh presiden justru merusak akuntabilitas. “Presiden ini merasa bisa membunuh siapa pun, di mana pun, tanpa harus memberi alasan,” katanya.

Kehadiran militer AS di kawasan Karibia sendiri meningkat tajam: 4.500 pasukan tambahan telah dikerahkan, tujuh kapal perang dan sebuah kapal selam nuklir beroperasi, jet tempur F-35 ditempatkan di Puerto Riko, sementara drone MQ-9 Reaper terlihat di pangkalan penjaga pantai Borinquen. Pangkalan angkatan laut Roosevelt Roads di Ceiba, Puerto Riko, juga tengah diperluas secara cepat.

Caracas mengecam langkah itu. Menteri Luar Negeri Venezuela, Yvan Gil, menuding operasi AS melanggar kedaulatan negaranya setelah kapal nelayan tuna ditahan kapal perusak AS selama delapan jam.

Di sisi politik dalam negeri, Senator Tim Kaine bersama lebih dari 20 senator Demokrat menuntut penjelasan resmi dari Gedung Putih terkait serangan. Sementara itu, anggota parlemen Ilhan Omar mengajukan resolusi war powers untuk menghentikan permusuhan terhadap Venezuela dan kelompok yang dicap “teroris” oleh pemerintahan Trump.

Para pengamat memperingatkan bahwa serangan ini bisa menjadi awal keterlibatan panjang AS di Amerika Latin, terutama setelah Trump menandatangani arahan rahasia yang mengizinkan penggunaan kekuatan militer terhadap kartel regional serta menggandakan hadiah untuk penangkapan Presiden Venezuela Nicolas Maduro menjadi 50 juta dolar.

Sumber berita: Al Mayadeen

Sumber gambar: The New York Times