Perwakilan Pemimpin Tertinggi di Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Hujjatul Islam Abdullah Haji Sadeghi, memuji sosok Syahid Sayyid Hassan Nasrallah sebagai teladan sejati dalam pengabdian kepada wilayah (kepemimpinan Ilahi) dan keteguhan dalam jalan perlawanan.
Berbicara dalam Konferensi Nasional “Kabar Gembira Kemenangan Nasr” di Universitas Qom yang dihadiri keluarga para syuhada Iran dan Lebanon, Haji Sadeghi mengenang pertemuannya dengan Syahid Nasrallah di Iran dan Lebanon. “Dalam beberapa pertemuan yang saya hadiri bersama syahid besar ini, saya melihatnya benar-benar sebagai penerima Medali Militer Wilayah sejati. Ungkapan ini tampak sederhana, tetapi memiliki makna spiritual yang sangat dalam,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam tradisi keagamaan, istilah seperti “hamba” dan “prajurit” memiliki makna luhur yang melampaui pemahaman umum. “Kata ‘hamba’ adalah derajat tertinggi dalam kedekatan kepada Allah; tidak ada kedudukan ilmu atau fiqih yang melebihinya. Demikian pula, kata ‘prajurit’ berarti siap kehilangan kepala di jalan wilayah, bukan memilikinya,” kata Haji Sadeghi.
Ia kemudian mengenang salah satu perbincangan panjangnya dengan mendiang Jenderal Sayyid Mohammad Hejazi mengenai makna “pengabdian” dan “ketaatan” kepada wilayah. “Jenderal Hejazi dengan bukti yang jelas menjelaskan bahwa seluruh keberhasilan Hizbullah di Lebanon bersumber dari pengabdian tulus kepada wilayah. Ia biasa berkata, ‘Ketika Pemimpin Tertinggi menyatakan sesuatu, saya tidak ragu bahwa itulah kebenaran mutlak — bukan karena perintah, tapi karena keyakinan hati.’”
Dalam kesempatan itu, Haji Sadeghi juga menekankan pentingnya salat sebagai jalan pembentukan manusia dan sarana menuju keabadian. Ia mengutip kebiasaan Ayatullah Bahjat yang menangis setiap kali membaca ayat “bukan jalan mereka yang dimurkai dan yang tersesat” dalam salatnya, karena takut termasuk dalam golongan tersebut.
Menjelaskan hakikat perlawanan (muqawamah), ia menegaskan bahwa inti dari misi para nabi adalah menegakkan ketundukan hanya kepada Allah dan menolak segala bentuk perhambaan selain kepada-Nya. “Inilah akar dari semua konflik antara para nabi dan musuh-musuh mereka. Perselisihan ini masih hidup hingga hari ini, dan pertanyaannya tetap sama: siapa yang berhak memerintah — Tuhan atau kekuatan angkuh dunia?” katanya.
Haji Sadeghi menyinggung pernyataan Pemimpin Tertinggi pada peringatan syahadah Imam Ridha (AS) bahwa permusuhan Amerika terhadap Iran bukanlah hal baru, melainkan bersumber dari penolakannya terhadap kedaulatan Ilahi. “Masalah utamanya bukan energi nuklir atau hak asasi manusia; semuanya hanyalah alat. Persoalan sejatinya adalah soal kedaulatan dan siapa yang memegang komando,” tegasnya.
Ia memperingatkan bahwa musuh berusaha melemahkan bangsa-bangsa melalui strategi “peniadaan otoritas,” yaitu menghancurkan kemampuan pertahanan, ilmu pengetahuan, dan kekuatan kognitif masyarakat untuk memaksakan kehendak mereka. “Perang sesungguhnya adalah perang di medan kesadaran (kognitif). Kemenangan sejati tidak diukur dari jumlah korban, tetapi dari kekuatan iman dan kehendak,” ujarnya.
Menurutnya, kekalahan sejati terjadi bukan di medan perang, melainkan ketika iman dan tekad generasi muda melemah. “Pemuda yang gugur di medan perang tidak kalah, tetapi ketika pikiran dan hatinya dikuasai oleh musuh, saat itulah kekalahan terjadi,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa musuh berupaya mengubah selera budaya dan sistem berpikir masyarakat dengan memengaruhi dua unsur pokok manusia — ilmu pengetahuan dan kecenderungan hati — dua hal yang juga menjadi fokus dakwah para nabi. Sebagian orang, katanya, tergelincir karena keraguan intelektual, sementara sebagian lainnya karena keterikatan duniawi yang melemahkan keteguhan.
Haji Sadeghi menegaskan bahwa sejarah menunjukkan umat Islam tidak akan pernah kalah selama mereka berpegang pada wilayah. Karena itu, ujarnya, musuh berusaha memisahkan umat dari prinsip tersebut. Berdasarkan analisis berbagai tulisan pihak arogan, katanya, mereka menganggap kondisi paling berbahaya bagi mereka adalah ketika umat terhubung dengan imamnya — sebab pada titik itu, kekuatan Islam menjadi tak terkalahkan.
Menutup pidatonya, Haji Sadeghi menyebut dua wacana utama dalam menghadapi tekanan global: wacana kompromi dan wacana perlawanan. “Sejak masa para nabi hingga Karbala, ada dua jalan: tunduk atau teguh di jalan kebenaran. Al-Qur’an menegaskan bahwa perlawanan adalah jalan kemenangan dan kemuliaan, sementara kompromi membawa kehinaan,” ucapnya.
Ia menambahkan, perlawanan dalam pandangan Islam bersumber dari tiga rujukan utama: Al-Qur’an, kehidupan para nabi dan imam maksum, serta pengalaman sejarah. “Semua menunjukkan bahwa siapa pun yang menerima dominasi musuh akan terhina, sedangkan yang berdiri teguh di jalan wilayah, bahkan jika harus mengorbankan nyawa, akan memperoleh kemuliaan.”
Mengutip kisah Imam Husain (AS) yang menolak baiat kepada Yazid, ia menegaskan: “Sikap Imam Husain adalah lambang wacana perlawanan. Menjaga kehormatan Ilahi meski dengan pengorbanan adalah kemenangan sejati. Dari Sayyid Hassan Nasrallah hingga syahid Zahedi, tugas kita adalah tetap teguh dengan iman dan pengetahuan Al-Qur’an. Karena hanya dengan perlawanan, umat akan mencapai kemenangan dan kehormatan, sedangkan kompromi hanya akan membawa kekalahan.”
Sumber berita: Tasnim News Agency
Sumber gambar: Taghrib news agency