Laporan terbaru mengindikasikan bahwa ledakan mematikan di Rafah, Jalur Gaza bagian selatan, yang menewaskan dua serdadu pendudukan Israel pada Sabtu, 19 Oktober 2025, bukan dilakukan oleh Hamas sebagaimana diklaim sebelumnya oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Menurut jurnalis Ryan Grim dari Drop Site News, baik Gedung Putih maupun Pentagon segera mengetahui bahwa ledakan tersebut disebabkan oleh sebuah buldoser milik perusahaan pemukim Israel yang melindas bahan peledak yang belum meledak, bukan akibat serangan terowongan Hamas.
Rekaman video juga memperlihatkan ekskavator Israel menghancurkan sisa bangunan rusak di Rafah, memperkuat dugaan bahwa ledakan terjadi akibat kecelakaan.
Grim mencatat bahwa setelah Netanyahu secara keliru menuding Hamas bertanggung jawab dan merespons dengan memblokir bantuan ke Gaza serta melancarkan kampanye pengeboman besar-besaran, pemerintah AS segera memberi tahu “Israel” bahwa mereka mengetahui penyebab sebenarnya.
Tak lama kemudian, Netanyahu mengumumkan pembukaan kembali jalur penyeberangan ke Gaza, dan komando militer pendudukan Israel menyatakan akan memberlakukan kembali gencatan senjata.
Curt Mills, Direktur Eksekutif The American Conservative, mengutip sumber senior pemerintah AS yang menegaskan, “Hamas tidak melakukan apa pun. Tank Israel menabrak alat peledak yang belum meledak, yang mungkin telah ada di sana selama berbulan-bulan.”
Hal senada disampaikan jurnalis Palestina Younis Tirawi, pakar keamanan dan politik, yang menegaskan bahwa insiden Rafah merupakan kecelakaan ketika buldoser melindas sisa bahan peledak. Ia menyoroti ironi berulangnya tuduhan terhadap Hamas atas kecelakaan yang justru disebabkan operasi pembongkaran “Israel” di wilayah yang hancur akibat bombardirnya sendiri.
Bahkan Presiden AS Donald Trump menyiratkan bahwa kepemimpinan Hamas tidak bertanggung jawab atas kematian serdadu pendudukan Israel di Gaza selatan. Namun saat berbicara di atas Air Force One pada Sabtu, 19 Oktober 2025, Trump mengatakan serangan itu mungkin dilakukan oleh “beberapa pemberontak di dalam gerakan.”
Trump menegaskan, “Bagaimanapun juga, ini akan ditangani dengan tepat. Akan ditangani dengan tegas, tetapi secara benar.” Ia menyatakan harapan agar perjanjian gencatan senjata di Gaza tetap bertahan dan menegaskan niat Washington menjaga stabilitas, dengan mengatakan, “Keadaan akan sangat damai bersama Hamas.”
Sementara itu, gerakan Perlawanan Palestina Hamas dengan tegas menolak tuduhan Departemen Luar Negeri AS yang menudingnya tengah mempersiapkan “serangan besar yang akan segera terjadi” dan melanggar perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza. Pernyataan tersebut dirilis pada Minggu, 20 Oktober 2025, dan menyebut tuduhan itu “palsu” serta “sepenuhnya sejalan dengan propaganda Israel.”
Dalam pernyataannya, Hamas menegaskan bahwa komentar AS “sepenuhnya beririsan dengan disinformasi pendudukan Israel dan memberi perlindungan politik atas kejahatan terorganisir yang terus berlangsung terhadap rakyat kami.”
Gerakan itu menambahkan bahwa “fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya,” menuding pendudukan Israel membentuk, mempersenjatai, dan mendanai kelompok kriminal yang bertanggung jawab atas pembunuhan, penculikan, penjarahan truk bantuan, serta perampokan terhadap warga sipil Palestina.
Meski penyelidikan menunjukkan ledakan terjadi akibat kecelakaan, “Israel” sempat melakukan pelanggaran serius terhadap gencatan senjata, menewaskan sedikitnya 26 warga Palestina di Gaza sebelum akhirnya melanjutkan kembali kesepakatan gencatan.
Keputusan awal Netanyahu untuk menutup jalur bantuan menegaskan bagaimana “Israel” terus menggunakan kondisi kemanusiaan di Gaza sebagai alat tekanan politik.
Penyalahgunaan informasi semacam ini tidak hanya membahayakan warga sipil dan pekerja kemanusiaan, tetapi juga memberi pembenaran bagi “Israel” untuk melanjutkan serangan udara yang memperdalam krisis kemanusiaan di wilayah pendudukan.
Gencatan senjata yang rapuh itu menghadapi tekanan tambahan setelah Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir secara terbuka menyerukan dimulainya kembali perang besar-besaran di Gaza, dengan dalih pengembalian para tawanan. Seruannya muncul setelah tahap pertukaran tahanan dan tawanan selesai, meski beberapa jenazah tawanan Israel masih belum ditemukan akibat kehancuran luas di Gaza.
Pernyataan Ben-Gvir memperlihatkan sikap sebagian pejabat Israel yang ingin mengabaikan kesepakatan yang telah dinegosiasikan, menimbulkan keraguan terhadap keberlanjutan gencatan senjata yang didukung AS, Qatar, Mesir, dan Turki.
Sumber berita: Al Mayadeen
Sumber gambar: Roya News