Skip to main content

Pada Sabtu, 18 Oktober 2025, pasukan pendudukan Israel (IOF) melancarkan serangkaian penggerebekan dan penyerbuan besar-besaran di berbagai wilayah Al-Quds dan Tepi Barat.

Di Jenin, pasukan Israel menyerbu lingkungan Al-Marah dan kota Beit Qad, menangkap seorang pemuda dari kota tersebut, serta dua lainnya dari sebuah gedung tempat tinggal di pusat kota. Di waktu yang sama, pasukan pendudukan melanjutkan operasi mereka di kota Beita, selatan Nablus, dengan pengerahan kendaraan militer secara besar-besaran di berbagai lingkungan. Sebuah tim ambulans sempat ditahan di dekat barak Samer Abu Zeitoun selama penggerebekan berlangsung.

Serangan juga dilancarkan ke kamp Askar Lama dan Baru di sebelah timur Nablus.

Di Al-Quds yang diduduki, pasukan Israel menggerebek rumah mantan tahanan Mahmoud Musa Issa — yang sebelumnya dideportasi ke Mesir — di kota Anata, serta menyerbu kamp Qalandia di utara kota, menembakkan granat kejut secara intensif sepanjang operasi.

Pasukan pendudukan turut menggeledah rumah-rumah warga di desa Al-Burj, selatan Al-Khalil, dan di desa Beit Sira di distrik Ramallah.

Dalam insiden terpisah, para pemukim Israel memutus saluran air utama yang memasok desa Al-Auja, utara Ariha, memperburuk kondisi warga di tengah meningkatnya tekanan di lapangan.

Rangkaian penggerebekan dan eskalasi ini terjadi di tengah berlanjutnya kebijakan keras Israel terhadap warga Palestina di berbagai kota dan desa, menimbulkan kekhawatiran atas dampak kemanusiaan dan keamanan di Tepi Barat.

Sementara itu, gencatan senjata di Gaza — yang mencakup pengembalian tawanan dan masuknya bantuan kemanusiaan — disambut dengan kehati-hatian. Banyak pihak menyambut perjanjian itu sebagai langkah positif, namun pengamat memperingatkan agar tidak terlena oleh ketenangan semu.

Dalam analisis yang dimuat Foreign Policy Magazine, mantan Duta Besar AS untuk Mesir dan Israel Daniel C. Kurtzer, bersama peneliti senior Aaron David Miller dari Carnegie Endowment for International Peace, menilai bahwa meskipun kesepakatan tersebut membawa sedikit kelegaan bagi warga Gaza, perhatian kini mulai bergeser ke situasi di Tepi Barat yang memburuk dengan cepat.

Keduanya menulis bahwa, sejak bulan-bulan sebelum operasi perlawanan Palestina pada 7 Oktober 2023, kondisi di Tepi Barat sudah menunjukkan tanda-tanda menuju Intifada ketiga. Sejak saat itu, kekerasan, penjarahan lahan, dan perluasan permukiman ilegal meningkat drastis.

Menurut laporan mereka, jumlah pos permukiman baru yang dibangun Israel bertambah 114 unit sejak Oktober 2023, menambah total menjadi lebih dari 300 titik. Perluasan ini telah menyebabkan penyitaan sekitar 13.600 hektar tanah Palestina, sebagian besar dialihkan melalui klaim “tanah negara” dan perintah militer. Sekitar 68 lokasi pertanian Palestina juga telah diambil alih dengan dukungan infrastruktur penuh.

Pemerintah Israel bahkan telah melegalkan 11 pos permukiman liar yang sebelumnya tidak diakui, langkah yang dinilai para analis semakin memperburuk kemarahan warga Palestina dan mengubur prospek perdamaian yang nyata.

Sumber berita: Al Mayadeen

Sumber gambar: Sada News Agency