Segera setelah pengumuman perjanjian gencatan senjata antara entitas Zionis dan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), mulai bermunculan bocoran informasi mengenai latar belakang dan jalannya agresi, serta pihak-pihak yang berperan di balik layar dalam memberikan dukungan kepada “Israel.”
Ironisnya, dukungan terhadap Israel tidak terbatas pada kekuatan Barat yang dipimpin Amerika Serikat, tetapi meluas hingga mencakup kerja sama militer antara entitas Zionis dengan sejumlah negara Arab dan Islam. Hal ini menandai perubahan drastis dalam peta aliansi kawasan, yang sebelumnya diatur oleh logika konflik Arab–Israel yang secara historis menempatkan negara-negara Arab dan Islam sebagai pihak yang berseberangan dengan Israel, bukan sekutu.
Dalam edisi 11 Oktober 2025, The Washington Post mengungkap dimensi strategis sensitif dari hubungan keamanan antara Israel dan beberapa negara Arab serta Islam, melalui apa yang disebut sebagai “Organisasi Keamanan Regional,” yang kegiatannya dikoordinasikan oleh Komando Pusat AS (CENTCOM). Temuan ini memiliki implikasi besar terhadap pembentukan aliansi baru di Timur Tengah.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh The Washington Post dari International Investigation Network, diketahui bahwa negara-negara yang bekerja sama secara militer dan keamanan dengan Israel selama agresi ke Gaza mencakup Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Kuwait dan Oman juga disebutkan tersirat ikut terlibat, meski tanpa bukti konkret.
Qatar, Bahrain, dan Yordania disebut berperan sebagai pusat koordinasi keamanan dan militer utama, tempat diselenggarakannya pertemuan, penyusunan rencana bersama, serta latihan gabungan di bawah pengawasan CENTCOM. Proses ini turut memanfaatkan sistem FIVEEYES, yaitu kerangka kerja sama intelijen antara Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, dan Selandia Baru.
Laporan itu menyinggung pertemuan yang digelar pada Mei 2024 di Pangkalan Udara Al Udeid, Qatar, yang dihadiri oleh sejumlah perwira intelijen Israel yang datang dengan mengenakan pakaian sipil untuk menyamarkan identitas. Berdasarkan dokumen tersebut, aktivitas militer dan keamanan antara negara-negara Arab dan Israel mulai dikoordinasikan sejak 2022 — yang mungkin menunjukkan bahwa persiapan Israel untuk menyerang Gaza telah dimulai jauh sebelum Hamas melancarkan Operasi Protective Edge.
Bidang kerja sama yang disebutkan mencakup koordinasi operasi pertahanan udara antarnegara guna menghadapi rudal dan drone Iran. Pada 2024, beberapa negara bahkan memperoleh akses sebagian terhadap survei wilayah Timur Tengah melalui sistem pertahanan dan sensor Amerika untuk meningkatkan kinerja pertahanan udara mereka. Kerja sama ini juga mencakup pelatihan untuk menghadapi serangan terowongan; salah satu dokumen merujuk pada pelatihan yang dilakukan di Fort Campbell, Kentucky, pada Januari 2025, mengenai metode mendeteksi, mengganggu, dan menghancurkan jaringan terowongan.
Upaya koordinasi juga berfokus pada pertukaran informasi dan intelijen terhadap Iran, dengan tujuan merusak kredibilitasnya dan menepis klaimnya sebagai pelindung rakyat Palestina, sembari mempromosikan kerja sama dan proyek pembangunan kawasan. Dalam konteks ini, negara-negara tersebut bersama Israel dan Amerika Serikat berencana membentuk Pusat Peringatan Informasi Bersama pada 2026 untuk mengintegrasikan data yang dikumpulkan oleh badan intelijen masing-masing tentang Iran dan kekuatan perlawanan.
Kerja sama juga meluas ke bidang siber, dengan rencana pembentukan Pusat Keamanan Siber Regional untuk mempercepat koordinasi dalam perang siber terhadap kelompok perlawanan Palestina serta terhadap Iran dan sekutunya. Dokumen itu juga mencantumkan rencana Presiden Donald Trump untuk mengakhiri perang di Gaza, yang menyerukan partisipasi negara-negara Arab dalam pasukan internasional guna melatih kepolisian Palestina yang akan mengelola Jalur Gaza setelah perang berakhir.
Sejumlah faktor disebut mendorong rezim-rezim negara tersebut bekerja sama dengan Israel, terutama persepsi bahwa Hamas menjadi ancaman terhadap proses normalisasi hubungan dengan Israel. Negara-negara seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Bahrain, dan Turki dinilai paling antusias menjalankan proses ini, demi menarik investasi dari kalangan Barat yang memiliki kedekatan dengan Tel Aviv, sejalan dengan rencana transformasi ekonomi di negara-negara tersebut.
Karena itu, mereka memandang Hamas, bersama gerakan perlawanan di Lebanon, Irak, Yaman, dan Suriah di bawah Presiden Bashar al-Assad, sebagai penghambat normalisasi. Faksi-faksi perlawanan ini didukung oleh Iran, yang dalam dokumen bocoran itu disebut sebagai “kepala poros kejahatan.”
Bagi negara-negara tersebut, Israel memiliki kemampuan militer dan intelijen canggih yang bernilai strategis dalam menghadapi ancaman rudal dan drone Iran.
Patut dicatat, kekhawatiran untuk menjaga keamanan dan stabilitas kekuasaan keluarga kerajaan di Teluk juga menjadi faktor yang mendorong Abu Dhabi dan Riyadh menjalin kerja sama ini. Kedua negara tersebut khawatir terhadap kemungkinan munculnya kelompok ekstrem di dalam negeri.
Karena itu, mereka memandang kerja sama dengan Israel sebagai aset penting yang memperkuat posisi mereka sebagai aktor keamanan utama dalam aliansi Barat yang dapat diandalkan untuk melindungi rezim mereka.
Selain itu, negara-negara tersebut menginginkan akses terhadap teknologi canggih Israel, yang dikenal unggul terutama dalam bidang intelijen, siber, dan teknologi militer. Melalui kerja sama ini, rezim-rezim Arab tersebut berharap dapat memanfaatkan pengalaman Israel dan mengaitkan diri mereka dengan sistem komando Amerika Serikat untuk menjamin kelangsungan kekuasaan mereka.
Semua ini dilakukan secara rahasia, karena kekhawatiran terhadap reaksi publik Arab yang selama dua tahun terakhir menunjukkan antusiasme terhadap perlawanan Palestina dan poros perlawanan selama konfrontasi dengan “Israel.”
Aliansi keamanan rahasia antara Israel dan sejumlah negara Arab ini menandai pergeseran besar dalam keseimbangan kekuatan kawasan, terutama dengan menjadikan Israel sebagai mitra sentral setelah delapan dekade berada dalam isolasi. Langkah ini membuka jalan bagi penguatan dominasi Amerika Serikat di Timur Tengah — tujuan strategis Washington sejak runtuhnya Uni Soviet — agar dapat mengalihkan fokusnya ke front lain, terutama dalam menghadapi China dan Rusia.
Hal ini juga akan meningkatkan tekanan terhadap Iran di Timur Tengah, pada saat Washington tengah membangun front baru di Kaukasus Selatan melawan Teheran dan Moskow, dengan membentuk aliansi Turki–Armenia–Azerbaijan serta koridor darat yang memungkinkan Amerika mencapai pantai timur Laut Kaspia, khususnya di Turkmenistan, guna menciptakan instabilitas di Asia Tengah — kawasan yang dianggap titik lemah keamanan nasional Rusia, Iran, dan China.
Selain itu, Washington berupaya melumpuhkan salah satu komponen utama Belt and Road Initiative Tiongkok, yakni jalur darat yang melewati Asia Tengah. Kerja sama rahasia ini berpotensi berkembang menjadi aliansi militer terbuka, dengan bentuk misi militer gabungan dalam kerangka “pasukan penjaga perdamaian di Gaza.” Langkah ini juga dapat berujung pada normalisasi penuh hubungan Israel–Arab, sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.
Kemitraan militer rahasia antara Israel dan sejumlah negara Arab serta Islam ini menjadi preseden baru yang dapat memperdalam integrasi kepentingan keamanan, militer, dan ekonomi di antara mereka dan Tel Aviv di bawah pengawasan Amerika Serikat. Kerja sama tersebut berpotensi mengubah struktur aliansi di Timur Tengah dan merekayasa ulang peran negara-negara Arab dalam keamanan kawasan untuk melayani kepentingan Israel dengan mengorbankan keamanan nasional Arab sendiri.
Sumber opini: Al Mayadeen
Sumber gambar: Jerusalem Post