Skip to main content

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baghaei, menegaskan bahwa rezim Zionis memiliki rekam jejak panjang dalam melanggar perjanjian gencatan senjata. Ia menekankan bahwa selama hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina belum terwujud, penyelesaian masalah ini tidak dapat diharapkan.

Dalam konferensi pers mingguan di Teheran pada Senin, 13 Oktober 2025, Baghaei mengatakan bahwa perkembangan di kawasan Asia Barat menuntut respons dan keputusan yang cepat. “Isu paling penting di kawasan, di dunia internasional, dan di dunia Islam tetaplah perkembangan di Gaza dan Palestina yang diduduki,” ujarnya.

Baghaei menambahkan bahwa setelah lebih dari 700 hari genosida di Gaza dan kelaparan yang dipaksakan terhadap rakyat Palestina, telah tercapai pemahaman bahwa entitas Zionis akan menghentikan serangannya. “Kami telah menyatakan posisi kami dengan jelas dan tegas,” katanya.

Meski pengeboman telah sedikit berkurang, lanjutnya, dunia kini menyaksikan kedalaman kejahatan yang terjadi selama dua tahun terakhir. Ia menyoroti operasi pengangkatan reruntuhan yang menyingkap jumlah besar korban syahid Palestina. Mengingat pengalaman kawasan selama beberapa dekade, termasuk ribuan pelanggaran gencatan senjata oleh Israel di Lebanon, Baghaei menyerukan agar semua pihak yang peduli pada perdamaian tetap waspada agar rezim tersebut tidak mengulangi kebiasaannya melanggar perjanjian dan melakukan kejahatan.

Menanggapi pertanyaan wartawan, ia kembali menegaskan: “Selama hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina belum dicapai, kita tidak dapat berharap untuk menyelesaikan masalah ini.” Ia juga menekankan bahwa Iran selama dua tahun terakhir menjadi salah satu negara paling aktif dalam menekan entitas Zionis dan sekutunya agar menghentikan genosida di Gaza.

Terkait penangkapan anggota Konvoi Keteguhan (Steadfastness Convoy), Baghaei menyebut tindakan tersebut sebagai aksi terorisme. “Cara konvoi itu diserang, penangkapan mereka, dan laporan penyiksaan terhadap para aktivis semuanya merupakan pelanggaran hukum internasional dan menjadi tanggung jawab negara-negara asal serta komunitas internasional,” ujarnya.

Tentang kesepakatan pertukaran tahanan dengan Prancis, ia menyampaikan bahwa Teheran terus memantau perkembangan dan berharap Ms. Esfandiari segera dibebaskan.

Mengenai konferensi Sharm el-Sheikh, Baghaei menjelaskan bahwa Iran memang menerima undangan dari Presiden Mesir, tetapi setelah menimbang keuntungan dan kerugian, pemerintah memutuskan untuk tidak berpartisipasi demi kepentingan nasional.

Terkait rencana perdamaian Trump untuk Gaza, ia menegaskan bahwa posisi Iran telah disampaikan secara jelas dalam dua pernyataan resmi: Iran mendukung setiap langkah yang mengarah pada penghentian pembunuhan dan genosida di Gaza, pengakhiran blokade, serta penyaluran bantuan kemanusiaan. Ia menambahkan bahwa Iran telah berulang kali menyerukan pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk membahas krisis tersebut.

Baghaei juga menyinggung ketegangan antara Afghanistan dan Pakistan, menekankan pentingnya stabilitas regional dan menyerukan kedua negara Muslim tersebut untuk menyelesaikan perselisihan melalui dialog.

Menanggapi pertanyaan apakah absennya Iran dari konferensi Sharm el-Sheikh mengurangi pengaruh regionalnya, Baghaei menegaskan bahwa peran regional Iran “tidak diukur dari hadir atau tidaknya di satu acara.” Ia menegaskan bahwa selama dua tahun terakhir Iran telah menjadi salah satu negara paling aktif dalam memantau kejahatan di Gaza dan terus menjalin komunikasi dengan negara-negara kawasan.

Mengenai penyiksaan terhadap anggota Flotilla Keteguhan (Resilience Flotilla), Baghaei menyebutnya “tindakan teroris dalam arti sesungguhnya.” Ia menambahkan bahwa Israel memiliki sejarah panjang dalam menindas aktivis anti-genosida, dan tanggung jawab hukum atas serangan serta penyiksaan itu juga berada di tangan pemerintah negara asal korban, serta masyarakat internasional.

Menanggapi tindakan Eropa terhadap Iran dan isu negosiasi nuklir, Baghaei menjelaskan bahwa para duta besar Iran telah dipanggil untuk konsultasi dan telah kembali menjalankan tugasnya. Ia menilai pernyataan tiga negara Eropa “tidak bermakna, bersifat klise, dan tidak menunjukkan itikad baik.” Menurutnya, tuduhan bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir tidak berdasar karena “Iran tidak memiliki dan tidak berniat memiliki senjata nuklir.”

Ia juga menyinggung kampanye media terkoordinasi oleh Israel terhadap Iran, yang menurutnya bertujuan menciptakan citra palsu dan menyesatkan opini dunia. “Bahkan media Barat kini mulai mengakui hal itu,” katanya.

Tentang perjanjian nuklir dan hubungan dengan Eropa, Baghaei menyatakan bahwa pengalaman 10 tahun implementasi menunjukkan kegagalan tiga negara Eropa memenuhi kewajibannya. Ia menegaskan bahwa mereka harus membuktikan independensi politik dan kredibilitasnya sebagai mitra negosiasi.

Mengenai hubungan Iran dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), ia menegaskan bahwa Iran tetap menjadi anggota Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT) dan berkomitmen pada perjanjian pengamanan, namun pihak lain tidak menghargai kerja sama tersebut.

Menanggapi pernyataan Trump yang ingin bernegosiasi dengan Iran tentang perdamaian Timur Tengah, Baghaei mengatakan bahwa keputusan Iran selalu didasarkan pada pengalaman masa lalu. “Kami memiliki pengalaman pahit dengan AS dan rezim Zionis yang pernah melakukan agresi militer terhadap Iran,” ujarnya.

Ia juga mengomentari Penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini yang diberikan kepada tokoh oposisi Venezuela, dengan menyindir bahwa beberapa pemenang sebelumnya justru dikenal memicu perang. “Dengan pola seperti ini, jangan-jangan tahun depan Netanyahu sendiri yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian,” ujarnya dengan nada sinis.

Menanggapi isu dugaan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, Baghaei menegaskan bahwa Iran selalu mempertahankan diri dengan tegas dan terus memperkuat kemampuan pertahanannya.

Ia juga menyinggung insiden tewasnya dua warga Oman yang dikaitkan dengan produk air minum Iran, menyebutnya sebagai tindakan sabotase. Menurutnya, media Oman terlalu cepat menyimpulkan tanpa penyelidikan.

Baghaei menegaskan kembali bahwa posisi Iran mengenai krisis Palestina tetap konsisten: “Kami menyambut setiap langkah yang benar-benar mengurangi penderitaan rakyat Palestina dan menghentikan genosida.”

Menanggapi pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin soal pesan Israel kepada Iran, ia mengatakan Iran mendengarkan masukan dari negara sahabat namun tetap waspada penuh terhadap tipu daya rezim Zionis.

Ia juga memperingatkan negara-negara Arab yang menormalisasi hubungan dengan Israel agar tidak menggunakan istilah “normalisasi” untuk menutupi genosida.

Baghaei menegaskan bahwa tanggal 18 Oktober 2025 akan menjadi masa berakhirnya Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231, dan menolak upaya tiga negara Eropa memperpanjang pembatasan terkait Iran. Ia memuji posisi jelas Cina dan Rusia yang menentang langkah tersebut.

Di akhir konferensi pers, ia menyoroti pertemuan trilateral antara Iran, Rusia, dan Azerbaijan, yang menurutnya menunjukkan komitmen ketiga negara untuk memperkuat kerja sama keamanan regional. Ia menegaskan bahwa perang di Palestina yang diduduki “pada akhirnya harus berakhir,” dan bahwa Iran siap menghadapi setiap ancaman serta mengubah tantangan menjadi peluang.

Sumber berita: Al-Alam

Sumber gambar: Pars Today