Komandan Angkatan Laut Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), Laksamana Alireza Tangsiri, menyinggung pertempuran langsung yang pernah dilalui pasukan Iran melawan militer Amerika Serikat di Teluk Persia. Ia menegaskan bahwa Iran akan mempertahankan kepentingannya di kawasan tersebut hingga napas terakhir.
Dalam pidatonya pada Jumat tentang keteguhan Angkatan Laut IRGC dalam menghadapi agresi Amerika, Laksamana Tangsiri mengatakan bahwa pada masa itu, senjata terkuat yang dimiliki pasukan Iran hanyalah RPG, dan kemudian mereka baru mampu menggunakan senjata 107. Ia menambahkan bahwa pasukan Iran tidak memiliki perlindungan udara maupun fasilitas besar, namun dengan kemampuan terbatas itu, mereka terjun langsung dalam pertempuran melawan pasukan Amerika selama satu setengah tahun—sebuah perang asimetris di mana sejumlah prajurit Angkatan Laut IRGC gugur sebagai syuhada.
Ia melanjutkan bahwa rakyat Iran patut berbangga karena Angkatan Laut IRGC telah mempersembahkan sembilan syuhada dalam membela tempat-tempat suci dan menghadapi keangkuhan global di Teluk Persia, dipimpin oleh Syahid Mahdavi dan para sahabatnya. Dari sembilan pukulan yang diberikan kepada Amerika, enam terjadi selama masa Pertahanan Suci (1980–1988), dan ketika Amerika menghadapi mereka dengan perlengkapan modern dan senjata berat, mereka tetap kalah dengan izin Tuhan.
Mengenang operasi yang terjadi pada 8 Oktober 1987, Laksamana Tangsiri menjelaskan bahwa dalam operasi itu tujuh personel Iran gugur dan tiga lainnya terluka. Salah satu dari yang terluka dalam operasi tersebut kemudian gugur dalam serangan teroris terhadap parade militer di Ahvaz pada 22 September 2018, yang dilakukan oleh para antek keangkuhan global. Ia menyebutkan nama-nama para syuhada seperti Mahdavi, Mubaraki, Shafiei, Tavasoli, Kurd, dan Mohammadi, yang masing-masing disebutnya sebagai simbol keberanian dan keimanan dalam menghadapi musuh.
Komandan Angkatan Laut IRGC itu juga menegaskan pentingnya posisi strategis Selat Hormuz, dengan mengatakan bahwa jalur air ini merupakan nadi minyak dan gas dunia, dan Iran selalu berkomitmen untuk melindunginya serta menolak menutupnya. Ia memperingatkan bahaya dari keberadaan kapal dan sistem nuklir di kawasan tersebut, dan menegaskan bahwa Iran selalu menganggap wilayah itu sebagai kawasan strategis dunia yang harus dijaga. “Kami tidak pernah membiarkan selat ini ditutup,” katanya. “Namun apakah adil bila dunia memanfaatkan selat ini sementara kami sendiri tidak?”
Laksamana Tangsiri juga menyampaikan kekhawatiran atas masuknya kapal atau kapal selam yang membawa bahan bakar nuklir ke Teluk Persia. Ia menegaskan bahwa jika terjadi kecelakaan akibat pengangkutan tersebut, kerusakannya akan meluas dan bersifat permanen, bahkan air laut pesisir yang digunakan untuk pabrik desalinasi bisa menjadi tidak layak selama bertahun-tahun. Ia juga menyinggung arus laut di Teluk Persia yang memperparah pencemaran, mengingatkan kembali peristiwa tabrakan antara kapal Jepang dan kapal selam Amerika sekitar dua dekade lalu yang menyebabkan tumpahan minyak dan kerusakan lingkungan.
Menurutnya, kehadiran sejumlah negara asing di kawasan merupakan ancaman bagi keamanan regional. “Negara-negara ini menyalakan api permusuhan hanya untuk mempertahankan keberadaan mereka,” ujarnya. “Republik Islam Iran tidak pernah menyerang negara mana pun dalam 300 tahun terakhir, dan tidak akan memulai permusuhan kecuali diserang. Namun kami akan mempertahankan kepentingan kami dengan tegas.”
Ia menegaskan bahwa posisi praktis Iran mengenai Selat Hormuz adalah menjaga jalur energi dunia tetap terbuka dan mencegah segala tindakan yang dapat mengancam keselamatan lingkungan maupun keamanan kawasan. Ia menambahkan bahwa keputusan untuk menjaga atau menutup selat itu berada di tangan para pejabat tinggi negara dan bergantung pada tekanan terhadap ekspor Iran.
Laksamana Tangsiri juga mengonfirmasi bahwa kapal perang Amerika “Samuel Robert”, yang dihancurkan oleh Angkatan Laut IRGC, bernilai sekitar 600 juta dolar AS. Menjelaskan operasi tersebut, ia berkata, “Pukulan ketiga yang diberikan para pejuang kami kepada Amerika adalah penghancuran kapal Samuel Robert. Kapal itu tenggelam sepenuhnya dan tidak ada yang selamat.”
Ia menambahkan bahwa dalam operasi itu dua personel Iran turut gugur, menjadikan total sembilan syuhada dalam pertempuran tersebut, yang menggambarkan keteguhan bangsa tertindas namun kuat dalam menghadapi keangkuhan global. Ia menegaskan bahwa keberhasilan ini merupakan bagian dari ketahanan Angkatan Laut IRGC dalam membela kepentingan nasional dan menghadapi ancaman dari musuh-musuh Republik Islam Iran.
Menyinggung masa Pertahanan Suci (1980–1988), Tangsiri mengingat bagaimana Iran menghadapi delapan tahun invasi dalam kondisi tanpa perlengkapan. “Mereka menyerang kami saat kami tak memiliki apa pun. Tidak ada yang membantu kami, bahkan kawat berduri pun tidak diberikan,” ujarnya.
Namun ia menegaskan bahwa dalam tahun-tahun setelah perang, Republik Islam Iran berhasil mencapai kemandirian militer dan bahkan mampu mengekspor senjata di bidang-bidang sensitif. “Hari ini, kami bangga termasuk di antara negara-negara yang mampu mengekspor rudal, drone, dan kapal perang,” katanya.
Laksamana Tangsiri menambahkan bahwa para prajurit Iran, baik dari Angkatan Laut Tentara maupun IRGC, berdiri teguh di kawasan sensitif tersebut untuk menghadapi siapa pun yang mencoba mengganggu kepentingan bangsa. “Sebagai tentara bangsa ini, kami akan mempertahankan kehormatan ini hingga napas terakhir,” tegasnya.
Menyinggung Perang Dua Belas Hari, ia menyatakan bahwa pengorbanan dan perjuangan Pasukan Dirgantara serta unit-unit lainnya belum sepenuhnya disorot, padahal mereka telah berjuang gagah berani dan meraih kehormatan besar.
Di akhir pidatonya, Laksamana Tangsiri menegaskan, “Kami tidak memulai perang, kami tidak pula meminta agar ia berakhir. Kami akan terus mempertahankan dengan teguh jalan yang telah kami pilih.”
Sumber berita: Al-Alam
Sumber gambar: Press TV