Agresi Zionis terhadap Lebanon pada tahun 2024 bukan sekadar bab berdarah dalam sejarah panjang konfrontasi dengan musuh. Ia merupakan titik balik strategis yang memperlihatkan perubahan besar dalam keseimbangan kekuatan dan ketahanan di kawasan. Sementara musuh berusaha memaksakan apa yang disebutnya sebagai “kemenangan menentukan” melalui mesin penghancur besar-besaran, kenyataan di lapangan justru menegaskan kegagalan klaim tersebut dan melahirkan capaian-capaian penting yang dapat menjadi fondasi baru bagi perlawanan, baik secara politik maupun di medan tempur.
Selama enam puluh tujuh hari agresi yang brutal, dari wilayah selatan hingga Lembah Bekaa, bahkan ke Beirut dan pinggiran selatannya, pasukan pendudukan melancarkan serangan udara dan drone tanpa henti. Namun, tak satu pun dari tujuan yang dicanangkan tercapai. Pasukan darat Israel gagal menembus desa-desa perbatasan di selatan Lebanon, meski didukung keunggulan udara, teknologi, dan bantuan besar dari Amerika Serikat serta negara-negara Barat. Ketidakmampuan ini menggugah banyak pertanyaan serius tentang efektivitas mesin militer Israel dan kemampuan mereka meraih kemenangan di medan perang.
Agresi yang memanfaatkan seluruh kemampuan udara dan intelijen musuh justru berhadapan dengan tembok kokoh keteguhan rakyat dan pasukan perlawanan. Kendati sejumlah pemimpin penting gugur—terutama Sayyid Hassan Nasrallah, yang dikenal sebagai Sayyid para Syuhada Umat—perlawanan tetap melanjutkan operasi dengan disiplin tinggi, menembakkan rudal dan drone ke wilayah pendudukan hingga mencapai Tel Aviv, Caesarea, dan bahkan kediaman Benjamin Netanyahu. Tindakan ini bukan sekadar reaksi, melainkan bagian dari strategi terencana yang menunjukkan bahwa inisiatif masih berada di tangan perlawanan.
Ketika agresi mencapai puncaknya, perlawanan tetap mempertahankan kemampuan ofensif, memaksa musuh meninjau ulang seluruh perhitungannya dan akhirnya menghentikan operasi tanpa meraih sasaran yang diumumkan. Fakta ini membuktikan bahwa kekuatan penangkalan yang dibangun selama bertahun-tahun benar-benar efektif.
Omar Maarbouni, peneliti urusan politik dan militer, menyebut bahwa apa yang terjadi selama lebih dari dua bulan itu “adalah sekolah baru dalam perang asimetris.” Dalam wawancaranya dengan Al-Manar, ia menjelaskan bahwa secara militer, pertempuran garis depan diukur dari jarak nol hingga sekitar tiga atau empat kilometer. “Mujahidin berhasil mencegah pasukan Israel menembus lebih dari satu setengah kilometer ke wilayah Lebanon, bahkan itu pun hanya di titik-titik terbatas, bukan sepanjang garis tempur,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa meski Angkatan Udara Israel beroperasi siang dan malam, mereka tetap gagal mencapai prestasi militer yang berarti. Menurutnya, sekitar 65 tank Israel hancur di berbagai tahap pertempuran, sementara semangat juang mujahidin tetap menyala setelah gugurnya Nasrallah, menjadikan perang ini sebagai contoh luar biasa tentang keteguhan berbasis keyakinan.
Kegagalan itu memunculkan dampak besar di dalam negeri Israel. Pemerintahan Benjamin Netanyahu menghadapi gelombang kritik dari oposisi dan publik yang menganggap perang ini “tanpa arah dan tanpa hasil.” Media Israel seperti Haaretz menggambarkan pasca-agresi sebagai masa kehilangan kepercayaan pada kemampuan tentara dan kepemimpinan politik. Di sisi lain, perlawanan Lebanon justru meraih legitimasi baru di mata rakyatnya dan masyarakat regional. Dukungan dari Yaman, Irak, Iran, dan Suriah semakin solid, membentuk poros perlawanan yang kian berakar di jantung kawasan.
Secara internasional, citra Israel kian terpuruk. Serangan membabi buta terhadap warga sipil, penghancuran rumah, dan pembunuhan massal menuai kecaman luas dan membuka kembali perdebatan tentang legalitas entitas pendudukan di bawah hukum internasional. Banyak pengamat menilai bahwa agresi 2024 menandai kegagalan serius dalam doktrin keamanan Israel, yang selama puluhan tahun bertumpu pada keunggulan udara dan intelijen.
Dari sisi strategis, perlawanan berhasil mengubah paradigma dari bertahan menjadi menangkis sekaligus menahan agresi musuh dengan daya gentar tinggi. Mereka tidak hanya mempertahankan wilayah, tetapi juga menunjukkan kemampuan untuk melumpuhkan keunggulan teknologi lawan. Bagi Lebanon dan seluruh poros perlawanan, perang itu memperbarui kepercayaan diri dan menegaskan bahwa setiap agresi akan selalu berhadapan dengan perlawanan tanpa kompromi.
Agresi 2024 menorehkan luka mendalam, namun juga melahirkan warisan strategis yang tak dapat dihapus: keseimbangan baru kekuatan di kawasan. Di tengah kesombongan militer dan dukungan buta Barat terhadap Israel, perlawanan Lebanon membuktikan bahwa kekuatan moral, keyakinan, dan semangat pengorbanan mampu menundukkan superioritas senjata.
Kemenangan tidak diukur dari berapa banyak bangunan yang hancur, tetapi dari sejauh mana sebuah bangsa mampu bertahan, menolak tunduk, dan mempertahankan kehormatan. Setelah agresi itu, satu hal menjadi jelas: selama masih ada pendudukan, akan selalu ada perlawanan. Dan selama masih ada ketidakadilan, akan selalu ada suara yang berkata “tidak” kepada kezaliman.
Sumber opini: Al-Manar
Sumber gambar: The Times of Israel