Skip to main content

Pemimpin gerakan Ansar Allah di Yaman, Sayyid Abdul-Malik al-Houthi, menegaskan bahwa Amerika Serikat dan Israel menolak pengakuan sebagian negara Eropa terhadap negara Palestina, serta berupaya menjadikan Jalur Gaza sebagai wilayah yang diizinkan tanpa kehadiran perlawanan maupun jihad. Menurut Beliau, upaya itu tercermin dalam rencana Trump yang berisi ketentuan pelucutan senjata dan pengusiran kelompok jihad dari Gaza.

Beliau menuding Washington dan Tel Aviv bertanggung jawab atas kekerasan dan kebrutalan di Jalur Gaza. “Kejahatan Israel dengan kemitraan Amerika telah mencapai tingkat kriminalitas yang mengerikan dan memalukan,” ujarnya, sembari menyebutkan bahwa pengumuman AS hanyalah respons atas gelombang kecaman global terhadap brutalitas dan genosida yang berlangsung. Sayyid al-Houthi menyebut praktik Israel mencakup kelaparan bayi dan perbudakan warga sipil Gaza, sehingga beberapa negara merasa perlu secara resmi mengakui negara Palestina sebagai ekspresi ketidakpuasan. Ia menekankan bahwa pengakuan Trump atas Yerusalem dan keputusan-keputusan sebelumnya harus dipahami dalam kerangka pendekatan berbahaya yang merampas hak-hak rakyat Palestina.

Lebih lanjut, Beliau menilai keberangkatan Global Sumud Flotilla sebagai simbol solidaritas penting, meski sering diserang dan dihalangi Israel. Konvoi ini, sebutnya, adalah upaya ke-38 untuk mematahkan blokade Gaza dan berhasil menyoroti penderitaan rakyat Palestina di mata dunia. Dalam konteks ini, Beliau mengecam lembaga yang disebut Gaza Humanitarian Foundation, dengan menyebutnya sebagai kedok Amerika untuk menutupi keterlibatan dalam kejahatan Israel. “Langkah-langkah itu bukan solusi, tetapi justru alat pembunuhan dan penghinaan,” tegasnya.

Dalam pidatonya, Sayyid al-Houthi juga menegaskan kelanjutan operasi dukungan dari Yaman sebagai bagian dari “pertempuran penaklukan yang dijanjikan dan jihad suci”. Dalam sepekan terakhir, pasukan Ansar Allah melancarkan 18 serangan rudal dan drone, termasuk sasaran di wilayah Israel dan laut. Beliau mengungkapkan bahwa hingga kini 228 kapal telah menjadi target operasi laut, termasuk kapal yang melanggar larangan menuju Israel. Operasi ini, lanjutnya, telah mengganggu pelabuhan Umm al-Rashrash, menimbulkan kerugian ekonomi, serta memperkuat kontrol strategis di Laut Merah hingga Bab al-Mandab dan Teluk Aden.

Al-Houthi juga menyoroti meningkatnya solidaritas global terhadap Palestina, mulai dari aksi pekerja pelabuhan Italia yang menggagalkan pengiriman bahan bakar ke Israel, hingga keputusan pemerintah Slovenia melarang Netanyahu masuk ke negaranya. Ia memuji sikap Presiden Kolombia yang menyerukan pembentukan “Tentara Pembebasan Palestina” dan memutuskan hubungan dengan Israel, sembari mengkritik lemahnya sikap banyak pemimpin Arab dan Islam.

Di Yaman sendiri, Beliau menegaskan mobilisasi rakyat berlangsung masif dengan lebih dari 1.400 aksi demonstrasi dan duduk-protes dalam sepekan terakhir, serta pawai jutaan massa pada Jumat lalu. Aktivitas ini, lanjutnya, dilandasi nilai religius, kemanusiaan, dan moral yang menolak menyerah pada kehinaan dan genosida.

Mengakhiri pernyataannya, Sayyid al-Houthi menegaskan bahwa menghadapi agresi dan membela rakyat Palestina adalah kewajiban agama dan kemanusiaan. Beliau menyerukan agar dukungan, perlawanan, serta solidaritas terus digalakkan, bersamaan dengan tekanan politik dan diplomatik terhadap rezim-rezim yang bersekongkol atau gagal bertindak.

Sumber berita: Al-Mayadeen

Sumber gambar: ABNA