Dikisahkan sebuah cerita lama tentang sebuah desa di jantung Asia Barat, di masa ketika suara paling keras hanyalah teriakan seorang tetangga di pasar.
Di desa itu ada seorang wali kota yang menguasai pasar, ladang, kafilah, dan segala sesuatu yang bisa diperjualbelikan.
Ia menjual hasil panen warga desa dan membelinya kembali—menaikkan harga saat menjual dan menurunkannya saat membeli. Namun, para penduduk tetap berterima kasih kepadanya dan menganggap kesempatan membeli dan menjual sebagai berkah darinya.
Hari ini, banyak penguasa Arab seperti para penduduk desa itu: telinga mereka tertuju pada kata-kata “wali kota” di Washington, Presiden Donald Trump, sementara tangan mereka terikat oleh keputusannya.
Apakah Anda akan berkata sebaliknya?
Israel menyerang Qatar, padahal pangkalan intelijen dan militer terbesar Amerika berada di sana.
Tel Aviv mengumumkan bahwa mereka telah memberi tahu Washington sebelum serangan itu, tetapi Washington tidak melakukan apa-apa, tidak pula memperingatkan Doha.
Qatar, dengan segala kekuatan dan perlengkapannya, tidak memperoleh manfaat dari sepotong informasi pun.
Orang-orang Qatar marah, tetapi Trump tidak menunjukkan simpati ataupun mengecam agresi itu—ia hanya mengucapkan satu kalimat: “Jangan ulangi lagi.”
Jiwa-jiwa pun dipaksa tenang hanya dengan kalimat itu.
Untuk menjaga kesan kemerdekaan dan membela kedaulatan, para pemimpin Arab dan Islam diundang ke sebuah pertemuan darurat. Namun, semua detailnya telah terlebih dahulu dikomunikasikan ke Washington. Panglima Komando Pusat AS beserta utusan-utusan lain dikirim ke Doha untuk memastikan agar Qatar tidak berani melakukan tindakan “pembangkangan.”
Dan ini bukan hanya kasus Qatar.
Selama dua tahun penuh, perang menghancurkan telah dilancarkan atas Jalur Gaza, dengan dukungan langsung dan pengawasan Amerika Serikat.
Selama dua tahun itu, para pemimpin Arab mengangkat slogan dukungan bagi Palestina dan menyerukan gencatan senjata, tetapi kemudian mereka justru berkumpul mengelilingi Trump saat ia mengumumkan bahwa ia memiliki sebuah “rencana untuk mengakhiri perang.” Mereka mengekspresikan kepuasan bahkan sebelum mengetahui isi detailnya.
Lalu Trump mengumumkan rencananya, yang intinya adalah:
- Penyerahan diri rakyat Palestina
- Pelucutan senjata kelompok perlawanan
- Kelanjutan pembunuhan dan penghancuran
- Pengusiran orang-orang Palestina dari tanah mereka
- Perampasan kedaulatan dan hak menentukan nasib sendiri
- Pembebasan segera dan tanpa syarat para tawanan pihak pendudukan (satu-satunya jaminan dalam rencana itu, yang sepenuhnya untuk kepentingan entitas penjajah).
Namun, para pemimpin Arab dan Islam justru bergegas mengucapkan terima kasih kepada “wali kota” atas rencana itu, menyebutnya sebagai sebuah “keuntungan bagi Palestina.” Mereka lupa bahwa rencana itu hanyalah pelaksanaan dari kehendak Tel Aviv. Mereka lupa bahwa lebih dari 60.000 rakyat Palestina gugur syahid membela tanah dan martabat mereka, bahwa rakyat Palestina telah melawan Amerika dan pendudukan selama dua tahun penuh, dan bahwa sisa-sisa tanah mereka pun telah dirampas.
Singkatnya, para penguasa ini hanya mendengar apa yang Trump katakan, dan tidak memberi ruang bagi selain apa yang didiktekan kepadanya, seakan-akan mereka tidak memiliki media atau sumber berita lain selain yang datang dari Washington.
Bagaimana mereka bisa digambarkan sebagai penguasa merdeka, sementara Presiden AS yang menentukan biaya kunjungannya ke ibu kota mereka, memanfaatkan tanah dan pangkalan mereka, dan bahkan tidak memperingatkan mereka tentang bahaya yang mereka hadapi?
Bukankah sebutan “agen” atau “komisioner” lebih pantas untuk orang-orang yang tak lebih dari sekadar pengikut sang wali kota?
Sumber opini: Al-Alam
Sumber gambar: Middle East Transparent