Gaza terus dilanda kelaparan: hampir tidak ada yang cukup makanan untuk memberi anaknya makan atau sekadar menghilangkan dahaga. Pengetatan pengepungan yang tidak adil oleh pihak pendudukan terhadap ratusan ribu warga yang memilih bertahan di tempat mereka — wilayah-wilayah yang kini seperti kota dan desa hantu — membuat jalan-jalan yang tersisa sunyi, hewan-hewan liar berkeliaran, dan mayat-mayat korban bergelimpangan di banyak ruas jalan. Semua ini memicu kondisi kelaparan dan dehidrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kota tua dan indah ini belum pernah mengalami kemiskinan, kelaparan, dan kekeringan sedalam dan sedahsyat sekarang. Pintu-pintu masuk kemanusiaan yang dulu masih menyuplai bantuan ditutup, pesawat-pesawat yang dulu menjatuhkan bantuan kecil tak lagi hadir, dan pompa-pompa air serta stasiun pengolahan yang menyalakan pasokan air minum telah pergi bersama mesin dan stafnya. Sumur-sumur yang seminggu sekali beroperasi karena keterbatasan bahan bakar kini kering akibat pengeboman dan kerusakan.
Tidak ada lagi tempat yang layak untuk tinggal atau tidur: lebih dari delapan puluh persen kawasan kota hancur — timur, barat, utara, dan selatan. Kawasan timur seperti Al-Tuffah, Al-Zeitoun, dan Al-Shuja’iyya nyaris kosong karena serangan; sebagian besar wilayah selatan seperti Tal al-Hawa, Al-Sabra, Sheikh Ajlin, utara di Sheikh Radwan, dan barat di Al-Nasr dan Al-Shati’ menjadi medan pertempuran. Jam demi jam area-area itu masih menyaksikan serangan udara, penembakan, dan ledakan yang gema suaranya terdengar jauh hingga Lod, Ramla, Tel al-Rabi’ dan Hebron.
Sisa-sisa tempat penampungan — sekolah-sekolah yang hancur, lembaga, dan bahkan rumah sakit — kini selalu berada dalam bahaya digempur kapan saja. Warga hidup menghitung jam menunggu misil atau peluru yang bisa mengubah tubuh menjadi debu dan menghancurkan sisa-sisa kehidupan yang susah payah mereka kumpulkan dari reruntuhan rumah mereka.
Pelayanan medis praktis tak ada lagi. Rumah sakit yang tersisa atau klinik “semi-rumah sakit” kekurangan alat dasar: tidak ada mesin X-ray yang berfungsi, tidak ada MRI, dan ketersediaan alat untuk memasang tulang atau menghentikan pendarahan amat minim. Obat pereda nyeri, serta obat untuk penyakit kronis—tekanan darah, diabetes, dan lain-lain—hampir tidak tersedia. Banyak tenaga medis yang ahli tewas karena penargetan sistematis; yang selamat sering terpaksa pergi jauh ke selatan untuk menyelamatkan keluarga mereka setelah mendapat ancaman.
Uang tunai praktis tidak beredar. Larangan masuknya dana oleh pihak luar, ditambah penutupan bank dan kios penukaran oleh otoritas setempat yang turut berperan dalam pembatasan ini, menimbulkan krisis likuiditas. Warga tidak bisa mengakses bantuan uang yang dikirim keluarga dari luar, gaji pegawai, atau tunjangan sosial — semuanya terhenti. Praktik “penukaran dengan komisi” marak: uang yang dikirim seringkali dipotong besar-besaran hingga 50% sehingga bantuan riil yang sampai ke keluarga sangat sedikit dan tidak mencukupi.
Gambaran di atas hanyalah bagian tampak dari penderitaan Gaza. Bencana datang dari segala arah, bergulung seperti gelombang yang tak ada habisnya — seperti mimpi buruk kelam yang terus menghantui setiap kali seseorang mencoba tidur. Meski demikian, di tengah kegelapan itu ada secercah harapan: warga Gaza terus menumbuhkan optimisme dan keyakinan bahwa hari esok akan datang menurut kehendak Tuhan, bukan kehendak musuh. Keyakinan itu memberi tenaga untuk bertahan.
Warga Gaza melakukan berbagai inovasi pragmatis untuk melanjutkan hidup dan mengakali larangan: mengganti gandum dengan jagung dan jelai untuk membuat tepung, memakai kayu bakar dari kebun yang diratakan atau dari furnitur rumah yang hancur karena kelangkaan gas. Kendaraan kecil dan gerobak hewan menjadi solusi transportasi; satu kendaraan kini sering mengangkut belasan hingga dua puluh penumpang karena kekurangan kendaraan bermotor. Plastik bekas diubah menjadi bahan bakar darurat untuk menjaga mobilitas yang nyaris lumpuh. Pabrik-pabrik darurat memproduksi pengganti gula, rempah-rempah lokal, dan bahkan “kopi” dari kacang-kacangan — semua usaha sederhana yang mengurangi dampak blokade terhadap kehidupan sehari-hari.
Upaya-upaya sederhana itu, meski tampak kecil, memperkuat ketahanan warga dan meneguhkan mereka untuk tetap tinggal di rumah, walaupun rumah-rumah itu sebagian besar hancur. Rakyat Palestina memberikan contoh: di tengah pembatasan dan serangan, mereka terus mencipta alternatif untuk apa saja yang dihancurkan, sehingga rencana pendudukan untuk memadamkan kehidupan di Gaza seringkali kandas.
Memang, hidup di Gaza saat ini hampir tak tertahankan — tak ada yang menyangkal itu. Namun tekad warga untuk mempertahankan hak atas tanah air mereka, keyakinan bahwa masa depan milik mereka dan anak-cucu mereka, serta kreativitas yang muncul dari kebutuhan hidup, memberi mereka kemampuan untuk terus bertahan.
Singkatnya: hidup di Gaza akan terus berlanjut, meski tanpa rumah, sekolah, rumah sakit, atau pasar; meski energi dan listrik langka; karena Gaza lebih dari sekadar kota: ia adalah tanah air, jiwa, dan nafas rakyatnya. Gaza lebih besar daripada kata-kata. Bagi mereka yang tinggal dan mencintainya, Gaza adalah kehidupan. Setelahnya, maut yang diancam oleh penguasa-penguasa dunia terasa lebih mudah diterima. Mereka memilih bertahan dan mempertahankan tanahnya sampai akhir — jika perlu dengan pengorbanan jiwa dan raga.
Sumber berita: Al Mayadeen
Sumber gambar: Al Jazeera