Skip to main content

Kajian akademik berbahasa asing mengenai Hizbullah, khususnya tentang sosok Sayyid Hassan Nasrallah, menunjukkan adanya pergeseran dari dikotomi reduktif “terorisme/perlawanan” yang dominan pada dekade 1980–1990-an menuju pendekatan yang lebih pluralistik dan mendalam. Pergeseran ini mencerminkan perubahan dalam persepsi terhadap Hizbullah serta peran dan pengaruh pribadi Sayyid Hassan Nasrallah dalam mengubah citra tersebut.

Sejak pendirian Hizbullah hingga dekade 1980–1990-an, tulisan akademik tentang kelompok ini sarat dengan kecenderungan orientalis. Perspektif yang digunakan berpusat pada sudut pandang Barat, mendahulukan agenda keamanan Barat, serta menyingkirkan kompleksitas Hizbullah sebagai fenomena sosial-politik dalam konteks Lebanon dan kawasan. Dikotomi ini merupakan manifestasi kontemporer dari apa yang disebut Edward Said sebagai Orientalism, tradisi studi Barat yang memandang “yang lain” secara homogen, sering kali penuh ancaman, dan dikategorikan menurut standar Barat yang menolak pengakuan atas kekhasan budaya masyarakat setempat.

Pasca-penarikan Israel dari Lebanon selatan pada tahun 2000 dan kemenangan Juli 2006, popularitas Hizbullah meningkat drastis di Lebanon dan dunia Arab. Sejak itu, penelitian akademik mulai menyoroti peran Hizbullah dalam mengalahkan Israel (sebagai pahlawan perlawanan), kiprah politiknya, serta kerja sosialnya. Dengan demikian, identitas Hizbullah mulai dipahami sebagai entitas majemuk (militer, politik, sosial, religius), melampaui dikotomi “terorisme/perlawanan.”

Intervensi Hizbullah di Suriah dan keterlibatannya dalam konflik kawasan membawa perspektif baru: Hizbullah dipandang sebagai aktor transnasional dalam poros regional yang dipimpin Iran, dan mulai dilabeli dengan bingkai sektarian atau religius. Selanjutnya, dengan runtuhnya negara Lebanon pasca-2019 serta keterlibatan dalam “pertempuran dukungan” untuk Gaza pada 2023, Hizbullah semakin dipandang sebagai “negara bayangan” yang mengendalikan Lebanon tanpa akuntabilitas penuh.

Namun, tetap ada aliran pemikiran Barat, terutama yang dekat dengan kepentingan keamanan Israel, yang konsisten mempertahankan label “teroris” bahkan setelah perubahan persepsi tersebut.

Sosok Sayyid Hassan Nasrallah dalam literatur akademik sejak 1990-an digambarkan sebagai figur karismatik dengan daya tarik luar biasa di Lebanon dan dunia Arab. Retorikanya, kesederhanaan hidup, serta integritas pribadi (misalnya cara berpakaian sederhana, kehidupan yang tidak berlebihan, dan pengorbanan syahid putranya) sering disebut sebagai kontras terhadap politisi Lebanon tradisional.

Pergeseran pertama membuat banyak peneliti menyimpulkan bahwa pribadi Sayyid Hassan Nasrallah telah mentransformasi Hizbullah dari kelompok bersenjata “tak bertuan” menjadi kekuatan politik yang memiliki wajah dan legitimasi. Hal ini membuat semakin sulit bagi peneliti untuk terus menggambarkan Hizbullah sebagai kelompok “tanpa wajah” atau semata “teroris.”

Pasca-penarikan Israel tahun 2000, Sayyid Hassan Nasrallah memperkokoh citra Hizbullah sebagai gerakan perlawanan yang menang dan aktor politik sah di Lebanon. Retorikanya pada isu Israel tetap keras dan mengancam, namun di dalam negeri beliau tampil terbuka, akomodatif, dan menjunjung pluralisme sektarian.

Dalam fase kedua, Sayyid Hassan Nasrallah dianggap berperan memperkenalkan kesadaran akademik tentang “identitas majemuk” Hizbullah. Analisis identitas politik banyak menelaah pidatonya untuk menunjukkan identitas berlapis yang diemban Hizbullah (Syiah, Lebanon, Arab, Islam).

Karya-karya tentang media politik dan retorika mencatat pidato Sayyid Hassan Nasrallah pasca-2006, terutama saat Perang Juli, sebagai cerminan “fleksibilitas dan rasionalitas.” Narasi, simbolisme, serta kerendahan hati performatif yang ditampilkan Sayyid Hassan Nasrallah menjadi elemen penting yang memperkuat legitimasi politik Hizbullah, menjadikannya “lebih dari sekadar milisi.”

Dalam konteks intervensi di Suriah, keterlibatan regional, dan krisis Lebanon, para peneliti menilai retorika dan kepribadian Sayyid Hassan Nasrallah mampu menjaga legitimasi Hizbullah meskipun dihadapkan pada kontradiksi, sehingga menjadikannya studi kasus kepemimpinan hibrida yang relevan dalam mempertahankan legitimasi pada masa krisis.

Dengan demikian, sosok Sayyid Hassan Nasrallah memainkan peran sentral dalam mengubah wacana akademik Barat atas Hizbullah karena:

  1. Memberikan “wajah manusiawi” pada Hizbullah.
  2. Kepemimpinan simbolik dan retoriknya memperlihatkan sifat hibrida Hizbullah.
  3. Kepribadiannya yang berlapis mencerminkan kompleksitas Hizbullah, sehingga dikotomi sederhana tidak lagi memadai.

Akhirnya, pidato-pidato Sayyid Hassan Nasrallah menampilkan faktor-faktor kunci yang memaksa penelitian Barat melampaui dikotomi orientalis. Beliau adalah seorang ulama sekaligus pemimpin politik Lebanon yang menjunjung pluralisme; seorang politisi berpengalaman dalam manuver politik domestik; sekaligus pemimpin militer dan simbol perlawanan bersenjata dalam konflik Arab–Israel.

Sumber opini: Al Mayadeen

Sumber gambar: CGTN