Skip to main content

Menurut laporan Mehr News Agency, Maryam Ghobrish, aktivis Front Perlawanan Lebanon, berbicara tentang pengalamannya hidup di tengah perang, kesyahidan, keyakinan, dan perlawanan pada pertemuan Perempuan Pejuang Perlawanan di Bandar Abbas pada Selasa malam, 24 September 2024.

Ia mengenang keberanian keluarga para pejuang, termasuk para syuhada yang jasadnya tidak pernah kembali, dan menegaskan: “Kami akan terus melanjutkan jalan ini, karena perlawanan bukan sekadar pilihan bagi kami; perlawanan adalah cara kami bernapas. Kami akan tetap melangkah, meski hanya tinggal satu orang.”

Maryam Ghobrish membuka pidatonya dengan mengutip syahid Hajj Abdullah Aqil: “Setiap dari kita dilahirkan dengan sebuah misi, dan kita harus menunaikannya sebelum kembali kepada Allah.” Ia mengingat banyak kerabat, sahabat, dan kenalannya yang gugur dalam beberapa tahun terakhir di Lebanon. Salah satu kenangan paling menyakitkan baginya adalah gugurnya seorang pemuda dari keluarganya, yang hanya satu jarinya berhasil ditemukan.

Dalam bagian yang penuh emosi, Maryam Ghobrish menyampaikan wasiat seorang syahid: “Ia menulis bahwa bila gugur, organnya harus didermakan. Namun yang tersisa hanyalah sepotong tubuh berlumuran darah, yang ditemukan dua minggu kemudian bersama sebuah potongan dari makam Imam Reza a.s. yang selalu dibawanya. Potongan itu menjadi saksi kesyahidannya.”

Maryam Ghobrish menekankan bahwa perlawanan bukan pilihan, tetapi bagian dari kehidupan: “Kami lahir dari hati perlawanan. Ayah dan ibu kami telah menempuh jalan ini. Perlawanan bukan sesuatu yang terpisah dari hidup kami. Kami tumbuh dengannya—dengan makanan, dengan darah, bahkan dengan napas kami. Kami tidak bisa membayangkan hidup tanpa perlawanan.”

Ia juga menjelaskan bahwa bagi rakyat Lebanon, pendidikan dan jihad adalah dua sayap generasi penerus: “Anak-anak diajarkan sejak kecil untuk berdoa bila ayah mereka berangkat ke medan, dan untuk bangga bila ia syahid. Pendidikan ini bukan hanya bekal masa depan, tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan kami. Kami juga menekankan agar anak-anak belajar, bersiap, dan bila perlu suatu hari mereka pun siap turun ke medan.”

Maryam Ghobrish menambahkan bahwa banyak pemuda Lebanon tertarik mempelajari bahasa Persia: “Bahasa Persia adalah bahasa revolusi. Saat salah seorang syahid berbicara kepada kami dalam bahasa Persia, kami merasa ia berbicara dalam bahasa revolusi.”

Ia lalu menyinggung teladan dari para perempuan perlawanan, seperti seorang wanita bernama Fatima—putri sekaligus istri syahid—yang meski menanggung luka mendalam, tetap tegar membesarkan anak-anaknya di jalan perjuangan ayah mereka.

Mengenang kesyahidan Sayyid Hassan Nasrallah, Maryam Ghobrish mengatakan: “Setelah Sayyid Hassan Nasrallah gugur, Sayyid Murtaza juga syahid. Kami tahu musuh berusaha menghentikan perlawanan, tetapi jalan ini tidak akan pernah berhenti. Meski rumah-rumah dihancurkan, kami akan terus melanjutkan, karena tujuan kami adalah mengibarkan panji keadilan dan wilaya hingga sampai kepada Imam Mahdi.”

Sumber berita: Mehr News Agency

Sumber gambar: Mehr News Agency