Dalam serangkaian pernyataan pada Selasa, 23 September 2025, sejumlah pejabat tinggi Iran menyampaikan pesan tegas kepada Amerika Serikat: Iran siap berdialog terkait program nuklirnya, tetapi tidak akan menegosiasikan kepentingan keamanan nasional di bawah ancaman.
Pernyataan ini disampaikan setelah satu dekade penuh ketegangan: keluarnya Washington dari kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA), kegagalan berulang untuk menghidupkan kembali perjanjian tersebut, serta perang AS–Israel yang meletus pada Juni lalu dan mengakibatkan pemboman fasilitas nuklir Iran. Presiden Masoud Pezeshkian bersama pejabat senior lainnya menegaskan sikap Iran yang kini semakin mengeras.
Berbicara sebelum berangkat ke New York untuk berpidato di Majelis Umum PBB, Presiden Pezeshkian menekankan bahwa syarat utama perundingan adalah sikap saling menghormati. “Kami tidak bisa berbicara dengan pihak yang ingin menggunakan kekuatan dan bersikap semena-mena,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa keamanan adalah hak semua bangsa. “Bukan hanya Israel yang berhak merasa aman. Keamanan seluruh umat manusia harus dijaga,” tegasnya.
Juru bicara pemerintah, Fatemeh Mohajerani, menambahkan dalam konferensi pers bahwa Iran membedakan antara perundingan sejati dan ultimatum. “Kami menyambut baik setiap kesempatan untuk berdialog demi kepentingan rakyat kami,” katanya. “Namun dialog adalah tindakan dua arah, bukan sekadar mendikte kehendak satu pihak.” Ia juga menuding negara-negara Eropa gagal memenuhi komitmen setelah AS keluar dari JCPOA, yang berujung pada “tekanan berat terhadap perekonomian Iran.”
Mengenai program rudal—tuntutan yang kerap diajukan Washington—para pejabat Iran menegaskan bahwa hal itu merupakan bagian tak terpisahkan dari pertahanan nasional, sebuah pelajaran yang diwariskan dari perang delapan tahun melawan Irak pada 1980-an. “Kami tidak meminta izin siapa pun untuk membela rakyat kami,” tegas Mohajerani, sambil mengingatkan bahwa dalam konflik terbaru, kekuatan rudal dan solidaritas nasional menjadi faktor utama perlindungan rakyat Iran.
Dalam perang yang dimulai 13 Juni 2025, Iran berhasil memaksa AS dan Israel meminta gencatan senjata hanya 12 hari kemudian. Serangan rudal Iran menimbulkan kerugian besar, menghantam sejumlah kota di Israel serta sebuah pangkalan militer Amerika di Qatar.
Sikap keras ini juga terlihat di parlemen. Anggota Majelis Syura Islam, Seyed Jalil Mirmohammadi, mengungkapkan bahwa lebih dari 70 wakil rakyat mendorong perubahan mendasar dalam doktrin nuklir. Menurutnya, dalam dunia di mana “Amerika yang kriminal” memberi kebebasan bagi “rezim Zionis bertindak semaunya,” Iran harus mempertimbangkan semua sarana untuk mencegah agresi—“termasuk senjata nuklir.” Ia mengingatkan pada nasib Libya yang membongkar program senjata pemusnah massal dan kemudian jatuh. “Iran tidak akan pernah menjadi Libya,” tegasnya.
Sementara itu, Ali Larijani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, menolak tuntutan Washington. “Orang Amerika mengatakan jangkauan rudal Iran harus di bawah 500 kilometer,” ujarnya. “Apakah mereka benar-benar berpikir rakyat Iran akan menerima hal itu?”
Sumber berita: Tehran Times
Sumber gambar: South China Morning Post