Akhir-akhir ini, banyak narasi ilusif bermunculan. Ada yang menekankan perlunya menerima kenyataan bahwa musuh terlalu kuat untuk dilawan, ada pula yang mengusulkan menyerah kepada musuh dengan berbagai dalih, termasuk normalisasi atau “perdamaian.” Di tengah narasi tersebut, ada pula gagasan bahwa senjata Hizbullah harus diserahkan sebagai bentuk kepatuhan terhadap tekanan Amerika, Barat, Israel, dan regional.
Namun semua gagasan itu perlu dilihat dari latar belakang masing-masing pihak yang mengusulkannya. Ada kelompok yang sejak lama menginginkan “perjanjian damai” dengan Israel, seperti golongan yang mendambakan “era Zionis bagi Lebanon” sejak Perjanjian 17 Mei. Ada juga pihak yang memang ingin menyingkirkan Hizbullah yang selama bertahun-tahun membongkar kelemahan mereka, didukung oleh rezim-rezim Arab yang telah meninggalkan perjuangan Palestina dan berusaha lari dari tanggung jawab sejarah. Ada pula yang menyerah pada tekanan Amerika–Israel–Arab karena khawatir kehilangan kepentingan atau masa depan politik, lalu berusaha “mengalihkan senjata dari satu bahu ke bahu lainnya,” seakan standar telah berubah dan neraca kekuatan berpihak pada musuh, bukan pada Poros Perlawanan.
Tapi bagaimana jika masalah ini dipandang dari sudut yang lebih nasionalis dan patriotik? Bagaimana jika sejak awal tidak ada ruang hukum, agama, maupun moral untuk berkompromi, mendekat, atau melunak di hadapan musuh, sebagaimana ditegaskan Imam Musa al-Sadr: “Berurusan dengan Israel adalah haram”? Larangan ini mencakup segala bentuk hubungan—politik, ekonomi, maupun budaya. Pertanyaan mendasar pun muncul: berapa biaya yang harus dibayar dalam menghadapi musuh? Mana yang lebih besar: biaya konfrontasi atau biaya menyerah? Benarkah menyerah lebih murah daripada melawan?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dinilai hanya dalam jangka pendek, melainkan dalam perspektif jangka panjang. Apakah menyerah akan menguntungkan rakyat dan negara di kawasan ini, atau justru konfrontasi lebih bermanfaat jika dilihat dari sisi kepentingan diri sendiri?
Hadi Qubaisi, direktur Pusat Persatuan untuk Riset dan Pengembangan, dalam wawancara eksklusif dengan TV Al-Manar, menegaskan bahwa “biaya menyerahkan senjata adalah pemusnahan lingkungan Hizbullah, sama seperti yang terjadi di Gaza.” Ia mengingatkan bahwa agresi Israel terhadap Lebanon dimulai sejak 1948, ketika wilayah Lebanon selatan hingga Sungai Awali dimasukkan dalam proyek Badan Yahudi, dan wilayah itu sejak saat itu menjadi fokus perhatian Israel. Ia melanjutkan, “Setelah dimulainya perlawanan pada 1969, serangan berlanjut hingga 1982, ketika intelijen Israel merekayasa pembunuhan duta besarnya di Inggris dan menuduh PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) untuk dijadikan dalih menginvasi Lebanon dan menyingkirkan ancaman faksi-faksi Palestina.”
Qubaisi menambahkan bahwa setelah invasi Beirut dan mundurnya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) ke Tunisia, Israel tetap menduduki Lebanon selama 18 tahun hingga akhirnya terpaksa mundur akibat tekanan operasi Hizbullah yang berkelanjutan. Pada 2006, Israel kembali memanfaatkan penangkapan dua tentaranya sebagai dalih untuk melancarkan agresi balasan terhadap Hizbullah, yang saat itu telah membebaskan wilayah dan mengibarkan slogan “jaring laba-laba.” Namun hasil perang tersebut justru berupa kekalahan dan kegagalan Israel.
Menurut Qubaisi, “Perang Badai Al-Aqsa dan keterlibatan Hizbullah membentuk tingkat konfrontasi yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Lebanon dan Israel, ditandai dengan fokus kuat terhadap target militer Hizbullah serta peringatan sebelum mengebom area sipil karena Israel khawatir permukiman dan infrastruktur sipilnya diserang balik.” Ia menambahkan, “Di Gaza, yang tidak memiliki senjata berat, Israel bisa melakukan genosida massal tanpa hukuman.”
Lebih lanjut, Qubaisi menegaskan bahwa Israel, bekerja sama dengan agen-agennya di Lebanon baik di dalam maupun luar institusi negara, berusaha merampas kekuatan penangkal Lebanon berupa rudal balistik, demi mewujudkan ambisi lamanya untuk menguasai Lebanon selatan, mengusir penduduknya, dan menggantinya dengan pemukiman Israel.
Dalam konteks ini, Qubaisi mengingatkan pernyataan Sayyid Hassan Nasrallah pada 17 September 2022: “Jaminan Amerika tidak pernah melindungi Palestina atau Lebanon, bahkan dalam tragedi Sabra dan Shatila, dan juga tidak melindungi Palestina kini meski mereka patuh pada Kesepakatan Oslo. Ini bukti dari realitas kontemporer. Kita biasanya mengutip bukti sejarah, seperti kisah Mukhtar al-Tsaqafi dan pengikutnya, yang menyerahkan senjata demi keselamatan, lalu dalam sehari mereka dibantai—7.000 pejuang dibunuh seperti domba.” Nasrallah melanjutkan, “Ketika para pejuang meninggalkan atau menyerahkan senjata dan percaya pada jaminan musuh, maka mereka menyerahkan nyawa laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan janin di rahim ibunya kepada kematian.”
Sumber opini: Al-Manar
Sumber gambar: Al Jazeera