Skip to main content

Mantan Kepala Staf Pasukan Pendudukan Israel, Herzi Halevi, mengakui bahwa lebih dari 200 ribu warga Palestina telah terbunuh atau terluka sejak awal perang di Gaza. Ia menjadi pejabat senior Israel pertama yang menyebut angka korban mendekati data resmi Kementerian Kesehatan Gaza.

Dalam sebuah pertemuan komunitas di permukiman Ein HaBesor pada Selasa, 9 September 2025, Halevi mengungkap bahwa selama 17 bulan operasi, penasihat hukum militer “tidak pernah sekalipun” membatasi tindakan militer di Gaza. Jenderal pensiunan itu memimpin pasukan pendudukan sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023 hingga mengundurkan diri pada Maret lalu.

Perkiraan Halevi, yang mencakup sekitar 10 persen dari total 2,2 juta penduduk Gaza, selaras dengan data Kementerian Kesehatan Gaza yang mencatat 64.718 syahid dan 163.859 terluka, sementara ribuan lainnya masih hilang di bawah reruntuhan. Meski rezim Israel berulang kali menuding data tersebut sebagai “propaganda Hamas”, lembaga kemanusiaan internasional menilai angka-angka itu secara umum kredibel.

Bocoran intelijen Israel sejak awal perang juga menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen korban adalah warga sipil. “Ini bukan perang yang lembut. Kami sudah menanggalkan sarung tangan sejak menit pertama,” kata Halevi, seraya menambahkan bahwa hukum internasional memang “penting bagi Israel”, namun tidak pernah benar-benar membatasi keputusan militer.

Pengacara HAM Israel, Michael Sfard, menilai pernyataan Halevi membuktikan bahwa penasihat hukum militer lebih sering menjadi “stempel karet” ketimbang pengawas. Komentarnya muncul usai laporan Haaretz yang menyebut pengganti Halevi, Eyal Zamir, mengabaikan nasihat hukum yang meminta penundaan perintah evakuasi terhadap sekitar satu juta warga Gaza sebelum invasi darat dimulai.

Sementara itu, pada Jumat, 12 September 2025, koresponden Al Mayadeen melaporkan pasukan pendudukan Israel membunuh 59 warga Palestina dalam sehari, termasuk 42 orang di Kota Gaza dan wilayah utara. Dengan pembantaian terbaru itu, jumlah korban sejak 7 Oktober 2023 telah mencapai 64.756 syahid dan 164.059 terluka. Sejak perang kembali pecah pada 18 Maret 2025, sedikitnya 12.206 warga Palestina gugur syahid dan 52.018 lainnya terluka.

Gerakan Perlawanan Islam, Hamas, mengecam “kejahatan mengerikan yang menargetkan rumah keluarga Sultan di utara Kota Gaza,” menyebutnya sebagai “terorisme negara dan kejahatan perang yang terang-terangan.” Hamas menyeru PBB, Liga Arab, dan Organisasi Kerja Sama Islam agar memikul tanggung jawab hukum dan moral untuk menghentikan kekejaman Israel.

Penderitaan warga Gaza juga semakin parah akibat kelaparan. Data medis menunjukkan sedikitnya 2.479 warga gugur syahid saat berusaha mendapatkan bantuan pangan, sementara 18.091 lainnya terluka. Dalam 24 jam terakhir, rumah sakit melaporkan 14 syahid dan 143 korban luka. Jumlah korban meninggal akibat kelaparan kini mencapai 413 jiwa, termasuk 143 anak.

Kantor Media Pemerintah Palestina menyatakan bahwa meskipun ada upaya pengusiran massal, lebih dari satu juta warga tetap bertahan di Kota Gaza dan wilayah utara. Bahkan, gelombang “pengungsian balik” mulai terlihat, dengan lebih dari 20 ribu orang kembali ke utara hanya dalam sehari, menentang upaya Israel mengosongkan wilayah tersebut.

Genosida yang telah memasuki bulan ke-23 ini terus memakan korban puluhan syahid dan ratusan terluka setiap harinya. Pada Kamis, 11 September 2025, Majelis Umum PBB dengan suara mayoritas besar mengesahkan Deklarasi New York (142–10–12) yang menuntut penghentian segera perang Israel, serta menyerukan langkah konkret dengan tenggat waktu menuju solusi dua negara, termasuk usulan misi internasional untuk stabilisasi.

Sumber berita: Al Mayadeen

Sumber gambar: TRT World