Pada 9 September 2025, sebuah kesepakatan baru lahir di Kairo ketika Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi dan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi menandatangani perjanjian untuk memulai kembali kerja sama nuklir. Perundingan itu berlangsung dalam format trilateral dengan kehadiran Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdel Aaty, yang memainkan peran mediasi penting.
Grossi menyebut kesepakatan ini sebagai “langkah penting ke arah yang benar” dan mengumumkan bahwa mekanisme praktis untuk melanjutkan inspeksi di dalam Iran telah disepakati. Araghchi pada bagiannya menegaskan kesiapan Teheran untuk bekerja sama dengan badan tersebut, tetapi menekankan bahwa setiap bentuk kerja sama harus menjaga hak dan kedaulatan Iran. Ia memperingatkan bahwa jika terjadi agresi militer atau pengembalian sanksi, maka “segala perjanjian dianggap batal demi hukum.”
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baghaei, kemudian menjelaskan bahwa pemahaman baru dengan IAEA ini lahir setelah serangan terhadap fasilitas nuklir Iran beberapa pekan lalu. Menurutnya, dokumen itu merumuskan kerangka komunikasi dan kerja sama dalam kondisi genting, meski rincian isi tetap dirahasiakan.
Kesepakatan Kairo hadir di tengah tekanan besar. Hanya beberapa hari sebelumnya, trio Eropa (Prancis, Jerman, Inggris) memicu mekanisme “snapback” Resolusi 2231 di Dewan Keamanan PBB, yang berpotensi mengembalikan sanksi luas terhadap Teheran. Sejumlah analis menilai bahwa kesepakatan ini adalah langkah cepat Iran untuk merestorasi monitoring agar dapat melemahkan momentum politik yang dibangun oleh Eropa.
Namun hubungan Iran dan IAEA sejak lama penuh ketidakpercayaan. Pada Juni lalu, Teheran merilis dokumen intelijen yang mengungkap koordinasi rahasia Grossi dengan pejabat Israel, sesuatu yang dianggap membatalkan netralitas badan tersebut. Iran juga menuduh IAEA membocorkan data sensitif yang kemudian dimanfaatkan dalam pembunuhan ilmuwan nuklirnya. Sementara itu, aktivasi snapback pada akhir Agustus mendorong parlemen Iran mengajukan rancangan darurat untuk menarik diri dari Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT)—sebuah ancaman serius yang memperlihatkan pergeseran tajam sikap politik di Teheran.
Dalam konteks lebih luas, kesepakatan di Kairo dipandang sebagai “reset” sekaligus gencatan sementara: sinyal kesiapan Iran untuk berinteraksi konstruktif, tetapi tetap dalam bingkai kedaulatan dan keamanan. Iran juga menegaskan posisinya: jika agresi atau sanksi kembali diberlakukan, kerja sama bisa runtuh seketika.
Peran Mesir dalam pertemuan ini menambah bobot geopolitik. Dengan tampil sebagai mediator, Kairo memperkuat posisinya di panggung regional, sekaligus mengirim pesan kepada “Israel” yang baru saja membekukan kesepakatan ekspor gas senilai 35 miliar dolar dengan Mesir.
Dalam pidatonya di Konferensi Internasional Persatuan Islam ke-39 di Teheran, Araghchi kembali menekankan bahwa Amerika Serikat dan entitas Zionis telah menyadari tidak adanya jalan keluar militer terkait Iran. “Mereka membuat kesalahan strategis besar dengan berpikir bahwa serangan mendadak dapat memaksa Iran mundur,” tegasnya. Menurutnya, satu-satunya jalan adalah diplomasi yang adil, berlandaskan saling menghormati dan kepentingan bersama.
Araghchi juga menyinggung perang 12 hari yang dipicu Israel terhadap Iran, dengan menekankan bahwa konflik itu justru membuktikan tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni atau Arab dan Persia dalam membela tanah air di bawah identitas tunggal Iran. Ia melanjutkan dengan kecaman keras terhadap kebijakan kelaparan yang digunakan Israel di Gaza, menyebutnya sebagai “kejahatan perang yang melampaui batas imajinasi.”
Lebih jauh, Araghchi memperingatkan dunia Islam bahwa ancaman Zionis tidak berhenti di Palestina. “Ancaman itu telah muncul di Lebanon, Suriah, dan bahkan Iran sendiri,” ujarnya, seraya menekankan bahwa tujuan sebenarnya adalah melemahkan dan memecah belah umat. Ia menyinggung bahwa ide “Israel Raya” kembali digaungkan secara terbuka, sebuah proyek kolonial yang menargetkan seluruh kawasan.
Sebagai penutup, diplomat top Iran itu menyerukan agar dunia Islam memanfaatkan kapasitas besar yang dimilikinya. “Umat Islam yang berjumlah 1,5 miliar jiwa, bila bersatu, memiliki potensi luar biasa untuk tumbuh, maju, dan mengangkat martabatnya,” katanya.
Sumber berita: Al Mayadeen
Sumber gambar: The South China Morning Post